Bentuk kantung seperti di area parkir Masjid Saka Tunggal Cikakak Banyumas itu konon membawa rejeki yang banyak. Setidaknya sering menjadi bahan omongan yang diharap memberi nilai tambah ketika hendak menjual tanah, misalnya, kepada calon pembeli yang suka tahayul tentunya. Hal pertama yang langsung menarik perhatian saya ketika turun dari kendaraan adalah monyet. Ya, kawanan monyet ekor panjang. Jenis yang banyak dijumpai di sejumlah tempat konservasi, resmi maupun tidak, di daerah Jawa. Selain kawanan monyet, ada beberapa cungkup tempat duduk di area parkir ini. Saka tunggal mengandung arti bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah. Empat sayap pada tiang tunggal itu mungkin terkait dengan filosofi Jawa 'Sedulur Papat Lima Pancer' yang dimodifikasi Sunan Kalijaga dengan memasukkan unsur Islam, yaitu 'sedulur papat' adalah empat jenis nafsu (aluamah, sufiyah, amarah dan muthmainah) dan 'Lima pancer' adalah rasa yang sejati (ada yang menyebutnya sebagai Nur Muhammad) .
Nafsu Aluamah merupakan nafsu dasar manusia, seperti makan, minum, berbusana, bercampur, yang terjadi karena pengaruh unsur tanah. Nafsu Sufiyah merupakan nafsu yang senang akan pujian, kekayaan, pangkat, derajat, yang dipengaruhi oleh unsur udara yang selalu mengembang memenuhi ruang kosong. Nafsu Amarah merupakan nafsu yang terkait dengan rasa marah, emosi, ego, yang dipengaruhi oleh unsur api. Nafsu Muthmainah adalah nafsu yang mengajak manusia kearah kebaikan, yang dipengaruhi oleh unsur air.
Gerbang Masjid Saka Tunggal Cikakak masing-masing sisinya disangga empat pilar. Renovasi gerbang ini tampaknya sudah lama berselang, sehingga kondisi saat itu sudah tidak begitu baik, terutama pada bagian atapnya dimana lapisan daun rumbianya sudah terkelupas nyaris habis, menyisakan atap seng yang sudah berkarat.
Di sisi kanan area parkir adalah tembok tinggi Masjid Saka Tunggal Cikakak. Tidak banyak monyet yang terlihat ketika kami tiba, sehingga Tri pun hanya membeli beberapa bungkus kacang saja di warung sebelah. Tak dinyana, salah seorang pria tiba-tiba berteriak memanggil kera-kera yang lain. Dalam sekejap gerombolan kera pun berdatangan, bak pasukan Hanoman yang datang menggeruduk hendak menyerang Alengka ...
Beberapa ekor kera masih menguntit dan 'parkir' di atas pagar di kiri kanan jalan menuju ke pintu masuk masjid. Seekor induk kera berbulu abu-abu duduk mendeprok di samping undakan, memangku anaknya yang bulunya berwarna kehitaman. Jumlah kera di hutan sekitar Masjid Saka Tunggal Cikakak ini diperkirakan mencapai lebih dari 300-an. Ketika musim kemarau tiba dan makanan menyusut, mereka akan cukup merepotkan penduduk karena sering masuk ke dalam rumah dan mengambil makanan.
Seekor kera meloncat naik ke atas kap mobil, disusul beberapa ekor kera lainnya. Sementara kawanan kera lainnya bergerombol di pelataran parkir menunggu derma. Sayang makanan yang tersedia tak cukup untuk mereka semua. Gerumbul pohon di ujung area parkir adalah hutan darimana kawanan kera itu berdatangan. Di gerumbul itu terdapat Makam Kyai Tolih, yang sayangnya tidak saya kunjungi lantaran sudah mulai gelap ketika selesai dengan Masjid Saka Tunggal.
Atap luar Masjid Saka Tunggal Cikakak terbuat dari lembaran seng dengan atap utama tumpang limasan dan mahkota sederhana di pucuknya. Area serambi Masjid Saka Tunggal Cikakak yang disangga tiang-tiang kayu ramping. Lantainya sudah dikeramik dengan enam set keramik berornamen hijau putih di bagian tengahnya. Langit-langit dan dinding bagian dalam didominasi kayu dan pelipit bambu yang diplitur coklat dan coklat tua, memberi kesan tradisional yang kuat.
Bagian luar Masjid Saka Tunggal Cikakak ini telah ditembok keliling, dimana terdapat lubang-lubang hawa berbentuk segi empat berjeruji kayu dengan lengkung kembar di bagian atasnya. Pintu masuk juga memiliki pola yang sama. Jika saja cat temboknya diganti dengan warna putih bersih, masjid ini saya kira akan lebih sedap dipandang mata ketimbang warna biru yang terkesanagak kusam. Saat mulai memasuki pelataran masjid sudah tidak ada lagi kera yang menguntit di belakang. Mungkin karena selalu diusir jika masuk. Lagipula tidak ada makanan yang bisa mereka dapatkan di sana.
Saat itu ada seorang pria tengah melakukan ibadah shalat di ruang utama Masjid Saka Tunggal Cikakak dengan tiang satu di tengah yang menyangga atap dan memberi nama pada masjid ini. Mestinya shalat Ashar, karena Maghrib belum lagi masuk. Dinding dan langit-langit masjid terbuat dari anyaman bambu yang terlihat masih dalam kondisi bagus. Nama Cikakak di ujung nama masjid perlu disebut, lantaran ada pula masjid saka tunggal selain yang ada di Cikakak ini.
Ornamen pada saka tunggal yang terbuat dari kayu jati setebal 35 cm itu tampak unik, dengan motif ulir pada setiap sudutnya, motif suluran dan bunga pada batangnya, di bagian tengah ada empat sayap mengarah ke empat penjuru angin, dan motif kawung pada bagian atas kayu. Warna yang dominan adalah merah dan hijau, dengan sedikit warna kuning dan putih.
Pada tiang ini terdapat angka tahun yang ditulis dalam huruf Arab 1288, yang diduga merupakan tahun dibuatnya Masjid Saka Tunggal Cikakak ini. Karena angka pada tiang itulah Masjid Saka Tunggal Cikakak dianggap sebagai masjid tertua di Indonesia. Namun ada ketidaksesuaian antara angka itu dengan kisah Kyai Tolih, yaitu yang dipercayai sebagai pembabat alas dan pembuka permukiman Cikakak, sekaligus sebagai orang yang pertama kali membangun Masjid Saka Tunggal Cikakak ini.
Bedug besar yang digantung dan kentongan kayu diletakkan di atas dudukan mendatar disimpan di ruang utama Masjid Saka Tunggal Cikakak. Hal yang tidak lazim, karena bedug dan kentongan biasanya disimpan di serambi, di luar ruang utama masjid.
Dalam Babad Wirasaba, Kyai Tolih bertemu dengan Kyai Mranggi di rumah Adipati Banyak Kumara dari Kadipaten Kaleng. Kyai Mranggi hendak meminta bantuan keuangan dari Adipati Banyak Kumara untuk membiayai pernikahaan anak angkatnya yaitu R Joko Kaiman dengan putri sulung Adipati Wargautama dari Kadipaten Wirasaba.
Adipati Banyak Kumara menyanggupi asalkan Kyai Mranggi membuatkan wrangka keris pusaka yang dimiliki Kya Tolih. Kyai Mranggi setuju. Setelah dibawa ke rumah Kyai Mranggi di Kejawar, keris tiba-tiba hilang, dan secara gaib terselip di pinggang R. Joko Kahiman. Kyai Tolih pun kemudian merelakan kerisnya karena dianggap berjodoh dengan R. Joko Kahiman. Setelah itu Kyai Tolih pergi dari Kaleng dan membuka alas di daerah yang kemudian dikenal sebagai Cikakak.
Peristiwa bertemunya Kyai Tolih dengan Kyai Mranggi mungkin antara tahun 1500 - 1568. Tahun 1568 adalah perikiraan tewasnya Adipati Wargautama yang dibunuh oleh utusan Pajang, di awal berdirinya Kesultanan Pajang. Jika Kyai Tolih telah membangun Masjid Saka Tunggal pada 1288, itu artinya Kyai Tolih hidup lebih dari 200 tahun.
Pertanyaan saya yang kedua adalah jika benar bahwa 1288 adalah tahun pendirian Masjid Saka Tunggal Cikakak, maka tidaklah lazim jika pada tahun itu orang Jawa mengacu pada kalender Masehi. Baru pada tahun 1502 Vasco da Gama memulai petualangan ke Timur. Portugis menaklukkan Malaka pada 1511, disusul dengan kedatangan VOC dan Inggris. Jadi pengaruh Barat baru muncul pada abad ke-16. Jan Pieterszoon Coen yang memimpin VOC pun baru menyerbu dan menduduki Jayakarta pada 1619.
Kesimpulannya, kecil kemungkinannya jika angka 1288 itu merujuk pada kalender Masehi. Itu jika angkanya ditoreh pada saat masjid dibuat. Orang Jawa Islam saat itu tentu akan mengacu pada kalender Hijriyah, atau pada Kalender Saka. Jika mengacu pada kalender Hijriyah, maka 1288 H adalah sekitar 1872 M. Angka ini tentunya tidak cocok dengan kisah pertemuan Kyai Tolih dengan Kyai Mranggi di atas.
Jika mengacu pada kelender Saka, maka 1288 Saka adalah 1366 M. Lebih mendekati, namun juga masih terlalu jauh jaraknya dengan kisah Kyai Tolih itu. Jika 1288 M memang tahun pendirian masjid, maka angka itu bisa jadi ditoreh lebih dari 300 - 400 tahun setelah masjid dibuat, saat kalender Masehi sudah merasuk sampai ke kampung-kampung.
Keunikan ibadah di Masjid Saka Tunggal Cikakak ini adalah ketika saat adzan tiba akan ada empat muazin sekaligus yang mengumandangkan suara azan secara bersamaan, tanpa pengeras suara. Di masjid ini ada sebuah acara ritual tahunan yang disebut Ganti Jaro, yaitu mengganti seluruh pagar bambu dengan pagar bambu yang baru. Prosesi ini melibatkan seluruh warga Cikakak, dan memakan waktu sekitar 2 jam, dilanjutkan dengan arak-arakan 5 gunungan nasi tumpeng untuk kemudian menjadi rebutan warga yang ingin mengalap berkah.
Meski telah dua kali dipugar sejak tahun 1965, namun terlihat jelas bahwa Masjid Saka Tunggal Cikakak sudah memerlukan pemugaran kembali. Bukan hanya pada fisik masjid, namun perlu juga dilakukan perbaikan pada sarana-sarana pendukungnya, termasuk bagaimana agar tanaman buah di hutan sekitar masjid mampu mendukung kehidupan kawanan monyet sehingga mereka tidak sampai mengganggu penduduk dan pengunjung.
Untuk menuju ke Masjid Saka Tunggal Cikakak Banyumas, dari Alun-alun Purwokerto ke arah Barat sejauh 17,3 km sampai Jalan Raya Ajibarang, lalu belok kiri (Selatan) masuk ke Jl Raya Pancatan. Ikuti jalan sampai sejauh 8,7 km, lalu belok ke kanan di pertigaan. Ikuti jalan sampai mentok pertigaan (1,4 km) dan belok ke kanan. Lurus terus, 270 meter kemudian akan sampai di lokasi.
Masjid Saka Tunggal Cikakak Banyumas
Alamat : Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas. Lokasi GPS : -7.47382, 109.055665, Waze. Hotel di Purwokerto, Hotel di Baturraden, Tempat Wisata di Banyumas, Tempat Wisata Kuliner Banyumas, Peta Wisata Banyumas.Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.