Saat berkunjung untuk kedua kalinya ke gedung Pura Mangkunegaran Solo, kunjungan pertama gagal karena sedang ditutup, kami juga lewat jalan samping keraton ini. Meskipun kami diperbolehkan masuk ke dalam, namun Pak Jum harus tetap parkir kendaraan di bagian depan gedung yang masuk dari gapura di seberang Jalan Ngarsopuro.
Di bagian depan Pura Mangkunegaran itu terdapat lapangan luas yang disebut Pamedan, yang pada jaman dahulu merupakan lapangan tempat berlatih para prajurit pasukan Mangkunegaran. Kini pamedan digunakan untuk berbagai kegiatan, termasuk pertunjukan kolosal Matah Ati. Setelah lebih dahulu membayar karcis masuk di pos jaga, tak lama kemudian kami melangkahkan kaki menuju pendopo Pura Mangkunegaran didampingi pemandu wisata seorang wanita usia 25 tahunan. Setiap kelompok pengunjung selalu ditemani oleh pemandu wisata, dengan tips sesuai kemurahan hati pengunjung.
Pendopo Agung Pura Mangkunegaran memiliki atap limasan. Di tengah kolam yang airnya terlihat kotor itu terdapat patung Cupid (Dewa Asmara) yang tengah merangkul burung yang sayapnya mengembang. Terlihat sangat Eropa ketimbang Jawa. Ornamen di depan teras pendopo juga sangat Eropa, dengan huruf MN lambang Mangkunegaran diapit oleh dua cupid, dan di sayap luarnya lagi ada relief kepala pria berwajah Eropa. Ini menunjukkan pengaruh pemerintah kolonial Belanda yang kuat pada saat itu.
Pendopo Agung Mangkunegaran yang disangga empat saka guru yang dibuat dari satu batang pohon, dan tiang-tiang pendukung. Pemandu meminta kami mencoba memeluk saka guru, yang jika kedua tangan bisa bertemu maka keinginan akan terkabul. Mungkin hanya Kapten Mlaar yang bisa. Chandelier cantik dari Belanda menghias pendopo seluas 3.500 m2 ini, dengan lantai berlapir marmer Italia. Ada pula patung singa berwarna keemasan yang didatangkan dari Jerman.
Pura Mangkunegaran merupakan istana yang menjadi tempat kediaman Sri Paduka Mangkunagara, dibangun setelah tahun 1757 dengan mengikuti model Keraton Surakarta nemun berukuran lebih kecil. Pendopo ini menampung 5.000-10.000 orang dan dianggap sebagai pendopo terbesar di Indonesia.
Warna hijau muda dengan garis warna keemasan yang mendominasi warna pendopo adalah warna pari anom (padi muda) yang merupakan warna khas keluarga Mangkunegaran. Pada langit-langit pendopo terdapat ornamen Kumudawati yang melambangkan astrologi Hindu-Jawa, dibuat pada 1937 oleh arsitek Belanda Thomas Karsten pada semasa KGPAA Mangkoenagoro VII.
Ada lambang 12 bintang dalam astrologi serta 8 kotak dengan warna dan makna berbeda. Di sisi sebelah kiri terdapat tiga set gamelan yang diselimuti kain, satu digunakan rutin dan dua digunakan pada acara tertentu. Di belakang pendopo terdapat beranda terbuka bernama Pringgitan dengan undakan menuju Dalem Ageng seluas 1.000 m2 yang semula ruang tidur pengantin kerajaan namun kini menjadi museum.
Lambang Mangkunegaran dengan warna dasar merah marun, huruf MN bertumpuk warna keemasan, lukisan mahkota di atasnya, tulisan "1866" di bawahnya, serta lambang padi kapas. Ukiran memanjang di kanan kirinya berupa deretan bokor diseling dengan motif suluran dan bunga. Pada undakan terdapat patung sepasang orang Tionghoa berwarna keemasan. Patung yang sangat indah. Agak jauh di belakang masing-masing patung itu, terdapat patung wanita Eropa asal Belgia dan Prancis dibuat dari bahan yang sama. Di sisi kiri kanan pintu masuk Dalem Agung terdapat lukisan raja dan ratu Pura Mangkunegaran yang tengah berkuasa saat ini.
Pintu utama Dalem Ageng tidak dibuka, dan kami masuk dari pintu di sebelah kanan. Dalem Agung menyimpan banyak koleksi keraton yang sangat indah dan tak ternilai harganya. Sayangnya pengunjung tidak diperbolehkan memotret. Hanya ada rekam suara pemandu wisata yang belum sempat saya buat transkripnya.
Di dalam Dalem Ageng terdapat tempat persemayaman Dewi Sri (petanen) berlapis tenun sutera, perhiasan dan benda bersejarah dari jaman Majapahit, senjata raja, pakaian keraton, medali, perlengkapan wayang, uang logam kuno, lukisan raja-raja Mangkunegaran dan permaisurinya, serta benda seni yang bernilai tinggi.
Di beranda belakang, selain beberapa set kursi serta pemisah bergambar indah, di tempat ini juga terdapat beberapa buah arca batu peninggalan kebudayaan Hindu. Berbeda dengan bagian depan pura yang kurang terurus, taman di sebelah dalam Pura Mangkunegaran ini sangat cantik dan terawat dengan baik.
Dari dalam beranda belakang kami berjalan ke ujung beranda lalu belok ke arah kanan, melintasi taman dan masuk ke dalam ruangan elok yang disebut Beranda Dalem. Jika ke arah kiri kita akan menjumpai gifshop, bangku istirahat, dan jalan keluar.
Beranda Dalem ini sangat cantik dan anggun, tempat raja menerima tamu-tamu penting. Siapa pun pasti akan terkesan ketika melihat ruang bersegi delapan ini dengan lampu gantung dan perabotan bergaya Eropa.
Yang tidak diperilihatkan oleh pemandu wisata adalah perpustakaan yang didirikan oleh Mangkunagara IV pada 1867. Di sana terdapat manuskrip bersampul kulit, buku-buku yang ditulis dalam bahasa Jawa dan berbagai bahasa lainnya, koleksi foto bersejarah dan data perkebunan serta aset Mangkunegaran lainnya.
Di sebelah kiri Beranda Dalem terdapat ruang makan dengan meja berukuran besar, dua buah lukisan sangat indah yang menggambarkan kehidupan pedusunan serta pura, lukisan kaca patri bertahun 1941, gading ukir, dan beberapa buah patung.
Pura Mangkunegaran dibangun setelah Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1757. Perjanjian ditandatangani di Gedung VOC (kini Kantor Walikota Salatiga) oleh Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), Sunan Paku Buwono III, VOC, dan Sultan Hamengku Buwono I.
Perjanjian Salatiga memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta yang berada di sebelah barat Kali Pepe, mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I. Berdasarkan perjanjian itu, penguasa Mangkunegaran hanya berhak menggunakan gelar Pangeran Adipati.
Di bagian depan Pura Mangkunegaran itu terdapat lapangan luas yang disebut Pamedan, yang pada jaman dahulu merupakan lapangan tempat berlatih para prajurit pasukan Mangkunegaran. Kini pamedan digunakan untuk berbagai kegiatan, termasuk pertunjukan kolosal Matah Ati. Setelah lebih dahulu membayar karcis masuk di pos jaga, tak lama kemudian kami melangkahkan kaki menuju pendopo Pura Mangkunegaran didampingi pemandu wisata seorang wanita usia 25 tahunan. Setiap kelompok pengunjung selalu ditemani oleh pemandu wisata, dengan tips sesuai kemurahan hati pengunjung.
Pendopo Agung Pura Mangkunegaran memiliki atap limasan. Di tengah kolam yang airnya terlihat kotor itu terdapat patung Cupid (Dewa Asmara) yang tengah merangkul burung yang sayapnya mengembang. Terlihat sangat Eropa ketimbang Jawa. Ornamen di depan teras pendopo juga sangat Eropa, dengan huruf MN lambang Mangkunegaran diapit oleh dua cupid, dan di sayap luarnya lagi ada relief kepala pria berwajah Eropa. Ini menunjukkan pengaruh pemerintah kolonial Belanda yang kuat pada saat itu.
Pendopo Agung Mangkunegaran yang disangga empat saka guru yang dibuat dari satu batang pohon, dan tiang-tiang pendukung. Pemandu meminta kami mencoba memeluk saka guru, yang jika kedua tangan bisa bertemu maka keinginan akan terkabul. Mungkin hanya Kapten Mlaar yang bisa. Chandelier cantik dari Belanda menghias pendopo seluas 3.500 m2 ini, dengan lantai berlapir marmer Italia. Ada pula patung singa berwarna keemasan yang didatangkan dari Jerman.
Pura Mangkunegaran merupakan istana yang menjadi tempat kediaman Sri Paduka Mangkunagara, dibangun setelah tahun 1757 dengan mengikuti model Keraton Surakarta nemun berukuran lebih kecil. Pendopo ini menampung 5.000-10.000 orang dan dianggap sebagai pendopo terbesar di Indonesia.
Warna hijau muda dengan garis warna keemasan yang mendominasi warna pendopo adalah warna pari anom (padi muda) yang merupakan warna khas keluarga Mangkunegaran. Pada langit-langit pendopo terdapat ornamen Kumudawati yang melambangkan astrologi Hindu-Jawa, dibuat pada 1937 oleh arsitek Belanda Thomas Karsten pada semasa KGPAA Mangkoenagoro VII.
Ada lambang 12 bintang dalam astrologi serta 8 kotak dengan warna dan makna berbeda. Di sisi sebelah kiri terdapat tiga set gamelan yang diselimuti kain, satu digunakan rutin dan dua digunakan pada acara tertentu. Di belakang pendopo terdapat beranda terbuka bernama Pringgitan dengan undakan menuju Dalem Ageng seluas 1.000 m2 yang semula ruang tidur pengantin kerajaan namun kini menjadi museum.
Lambang Mangkunegaran dengan warna dasar merah marun, huruf MN bertumpuk warna keemasan, lukisan mahkota di atasnya, tulisan "1866" di bawahnya, serta lambang padi kapas. Ukiran memanjang di kanan kirinya berupa deretan bokor diseling dengan motif suluran dan bunga. Pada undakan terdapat patung sepasang orang Tionghoa berwarna keemasan. Patung yang sangat indah. Agak jauh di belakang masing-masing patung itu, terdapat patung wanita Eropa asal Belgia dan Prancis dibuat dari bahan yang sama. Di sisi kiri kanan pintu masuk Dalem Agung terdapat lukisan raja dan ratu Pura Mangkunegaran yang tengah berkuasa saat ini.
Pintu utama Dalem Ageng tidak dibuka, dan kami masuk dari pintu di sebelah kanan. Dalem Agung menyimpan banyak koleksi keraton yang sangat indah dan tak ternilai harganya. Sayangnya pengunjung tidak diperbolehkan memotret. Hanya ada rekam suara pemandu wisata yang belum sempat saya buat transkripnya.
Di dalam Dalem Ageng terdapat tempat persemayaman Dewi Sri (petanen) berlapis tenun sutera, perhiasan dan benda bersejarah dari jaman Majapahit, senjata raja, pakaian keraton, medali, perlengkapan wayang, uang logam kuno, lukisan raja-raja Mangkunegaran dan permaisurinya, serta benda seni yang bernilai tinggi.
Di beranda belakang, selain beberapa set kursi serta pemisah bergambar indah, di tempat ini juga terdapat beberapa buah arca batu peninggalan kebudayaan Hindu. Berbeda dengan bagian depan pura yang kurang terurus, taman di sebelah dalam Pura Mangkunegaran ini sangat cantik dan terawat dengan baik.
Dari dalam beranda belakang kami berjalan ke ujung beranda lalu belok ke arah kanan, melintasi taman dan masuk ke dalam ruangan elok yang disebut Beranda Dalem. Jika ke arah kiri kita akan menjumpai gifshop, bangku istirahat, dan jalan keluar.
Beranda Dalem ini sangat cantik dan anggun, tempat raja menerima tamu-tamu penting. Siapa pun pasti akan terkesan ketika melihat ruang bersegi delapan ini dengan lampu gantung dan perabotan bergaya Eropa.
Yang tidak diperilihatkan oleh pemandu wisata adalah perpustakaan yang didirikan oleh Mangkunagara IV pada 1867. Di sana terdapat manuskrip bersampul kulit, buku-buku yang ditulis dalam bahasa Jawa dan berbagai bahasa lainnya, koleksi foto bersejarah dan data perkebunan serta aset Mangkunegaran lainnya.
Di sebelah kiri Beranda Dalem terdapat ruang makan dengan meja berukuran besar, dua buah lukisan sangat indah yang menggambarkan kehidupan pedusunan serta pura, lukisan kaca patri bertahun 1941, gading ukir, dan beberapa buah patung.
Pura Mangkunegaran dibangun setelah Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1757. Perjanjian ditandatangani di Gedung VOC (kini Kantor Walikota Salatiga) oleh Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), Sunan Paku Buwono III, VOC, dan Sultan Hamengku Buwono I.
Perjanjian Salatiga memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta yang berada di sebelah barat Kali Pepe, mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I. Berdasarkan perjanjian itu, penguasa Mangkunegaran hanya berhak menggunakan gelar Pangeran Adipati.
Pura Mangkunegaran Solo
Alamat : Jl Ronggowarsito, Solo. Lokasi GPS : -7.56666, 110.822937, Waze. Rujukan : Hotel di Solo, Tempat Wisata di Solo, Peta Wisata Solo.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.