Tulisan yang hilang itu berisi keterangan yang diberikan anak perempuan atau cucu kuncen Situs Carangandul. Seingat saya kuncennya sudah meninggal, dan belum ada penggantinya, maka wanita yang masih relatif muda itulah yang melayani jika ada tamu berkunjung ke situs. Lokasi rumah kuncen ada pada gang yang sama dengan gang yang menuju ke situs. Lantaran rencana berkunjung kembali ke Situs Carangandul belum juga terlaksana, maka tulisan ini diterbitkan berdasar ingatan dan sedikit informasi tambahan yang tersedia.
Waktu itu hari sudah menjelang sore ketika kami tiba di Desa Tamansari, Karanglewas, di Barat Kota Purwokerto. Untuk menuju ke Desa Tamansari kami belok ke kiri sekitar 600 meter setelah melewati Jembatan Kali Mengaji di jalan utama Purwokerto - Ajibarang. Masuk ke dalamnya sekitar 2 km, melewati jalan aspal yang cukup baik kondisinya. Kami sempat bertanya ke beberapa orang sebelum akhirnya menemukan rumah kuncen. Setelah berbincang dengan si mBak cucu kuncen dan catatannya lenyap itu, si mBak lalu mengambil kunci dan mengantar kami ke lokasi situs yang berjarak hanya beberapa puluh langkah dari depan rumahnya.
Si mBak yang namanya pun ikut lenyap bersama catatan saya itu terlihat tengah berada di depan pintu cungkup Situs Carangandul yang berada di bawah sebuah pohon sangat besar dan tinggi. Pagar kawat berduri berpintu pelat besi tipis membatasi pekarangan dengan jalan kampung di depannya.
Di halaman situs terdapat beton segi empat rendah dengan prasasti di permukaannya bertuliskan "Berkat rahmat Tuhan Yang Mahaesa telah direhab komplek Situs Carangandul Desa Tamansari Kecamatan Karanglewas, 18 Juli 2008. Kepala Disparbud Kabupaten Banyumas Drs. H. Slamet Sudiro MM", lengkap dengan pangkat dan NIP-nya.
Sebuah pertanda yang bagus, oleh karena setidaknya sudah ada perhatian dari pejabat terkait untuk melakukan konservasi terhadap situs ini. Jika terlambat dilakukan, benda itu bisa saja berpindah tempat ke rumah kolektor benda kuno dengan harga lumayan mahal, atau sebaliknya, dilempar ke kali oleh orang yang picik dan sempit pikir.
Tri berjongkok di depan satu-satunya bagian menarik yang ada di dalam cungkup Situs Carangandul. Batu lumpang itu terlihat seperti babi karena memiliki bentuk seperti hidung yang besar dan tanpa tanduk. Dua buah batu di depannya digunakan sebagai tempat untuk meletakkan dupa yang dibakar, dengan sisa bakaran terlihat seperti lelehan magma gunung berapi.
Situs Carangandul ini oleh masyarakat dikaitkan dengan kisah peng-Islaman wilayah Pasir Luhur pada jaman Kesultanan Demak di abad 15-16 M. Patih Kadipaten Pasir Luhur yang menolak menerima Islam konon dipancung oleh pasukan Demak.
Kepalanya berubah menjadi batu lumpang, setelah badannya dibawa menyeberang Kali Logawa untuk dipisahkan selama-lamanya. Jika tak dipisahkan, badan sang patih bisa menyatu dengan kepalanya dan hidup kembali, karena ia memiliki Aji Pancasona.
Dilihat dari atas terlihat lubang batu lumpang di Situs Carangandul Karanglewas Banyumas ini ternyata dangkal, dan bentuknya agak mengecil atau mengerucut ke arah bawah, sehingga lebih tepat disebut sebagai lumpang ketimbang gentong atau tempayan, yang umumnya gendut di bagian tengah.
Sebagaimana umumnya situs peninggalan dari jaman megalitikum, tak ada catatan atau prasasti yang bisa menjelaskan keberadaan Situs Carangandul ini, selain kisah legenda yang berkembang di tengah masyarakat sekitar situs. Nama Carangandul pun tampaknya diambil dari nama desa dimana situs ini berada.
Konon budaya tulis di Jawa baru berkembang pada abad ke-5. Karena namanya konon maka orang hanya menduga-duga dari peninggalan prasasti yang sejauh ini bisa ditemukan. Kekononan itu tentu akan berubah jika nanti ditemukan prasasti lain yang umurnya lebih tua. Namun yang perlu diingat, media tulis pada jaman dulu bukan hanya batu.
Lumpang batu banyak disebut sebagai peninggalan kebudayaan dari jaman megalitik, bersama dengan dolmen, menhir, kubur batu, dan batu dakon. Fungsi lumpang batu pada masa itu tak beda dengan yang sekarang masih bisa dijumpai di pedesaan, yaitu untuk menumbuk dan menghaluskan biji-bijian sebagai bahan dimakan.
Tampak depan Situs Carangandul Karanglewas Banyumas dengan permukaan batu lumpang atau batu gentong yang memang memiliki hidung dan paras muka mirip babi. Bentuk babi sebenarnya banyak dijumpai pada celengan keramik, dan belum pernah saya lihat relief babi pada lumpang selain di tempat ini, jika pembuatnya memang bermaksud membuat muka babi. Berbagai bentuk celengan itu, termasuk celengan babi, pernah saya lihat sewaktu berkunjung ke Museum Bank Rakyat Indonesia.
Wilayah Kadipaten Pasir Luhur sekarang ada di Karanglewas, di kecamatan dimana situs ini berada. Tradisi Jawa di wilayah Banyumas memang tampaknya sangat kuat waktu itu sehingga wajar jika ada penolakan terhadap penyebaran agama dari luar, meski kemudian wilayah Kadipaten Pasir Luhur berhasil diislamkan oleh tokoh ulama Demak bernama Syech Makdum Wali.
Begitupun tradisi budaya Jawa Kuno ternyata masih tetap hidup di wilayah Banyumas. Diantaranya bisa dilihat pada ritual yang dilakukan setiap tahun di kalangan pengikut adat Bonokeling. Bonokeling, yang makamnya ada di Kecamatan Jatilawang Banyumas, dipercayai sebagai tokoh spiritual dari jaman Kadipaten Pasir Luhur.
Situs Carangandul Karanglewas Banyumas
Alamat : Dukuh Carang, Desa Tamansari, Kecamatan Karanglewas, Banyumas. Hotel di Purwokerto, Hotel di Baturraden, Tempat Wisata di Banyumas, Tempat Wisata Kuliner Banyumas, Peta Wisata Banyumas.Label: Banyumas, Jawa Tengah, Karanglewas, Situs, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.