Candi Sojiwan Klaten saya kunjungi setelah dari Candi Plaosan Lor, sedangkan Candi Plaosan Lor saya kunjungi setelah dari Candi Barong. Rute ini ternyata ngawur, dan kengawuran itu baru saya ketahui setelah melihat plot GPS ketiga candi pada peta, dimana lokasi Candi Sojiwan berada diantara Candi Barong dan Candi Plaosan Lor.
Maklumlah kunjungan saya ke Candi Sojiwan memang tidak lebih dulu direncanakan, demikian juga kunjungan ke Candi Plaosan. Lagipula, candi yang tingginya 27 m itu belum lama selesai dipugar dan diresmikan pada 16 Desember 2011, sehingga Pak Agus yang membawa mobil belum begitu mengenalnya.
Nah supaya tidak melakukan kekeliruan yang sama, ada baiknya sebelum menjelajah di wilayah Sleman dan Klaten, anda mempelajari dulu Peta Wisata Sleman dan Peta Wisata Klaten untuk merencanakan rute perjalanan. Sayang jika membuang waktu berharga yang bisa digunakan untuk mengunjungi tempat yang lain.
Ketika berjalan mendekati Candi Sojiwan, pejalan akan melihat candi dari sisi sebelah kanan, karena Candi Sojiwan ini menghadap ke arah Barat. Puncak yang berbentuk stupa, serta stupa-stupa kecil pada kemuncak di bawahnya menunjukkan bahwa Candi Sojiwan adalah sebuah candi Buddha. Deretan batu butih di latar depan adalah posisi tembok luar candi yang belum direkonstruksi. Di halaman juga terdapat rekonstruksi stupa yang tampaknya merupakan kemuncak candi perwara yang belum direstorasi. Jika dilihat dari arah samping Candi Sojiwa maka akan terlihat adanya gapura paduraksa di depan pintu candi.
Candi Sojiwan berada di sebuah area terbuka yang panjang halamannya lebih dari 100 m sebelum sampai ke candi utama, dengan melewati pos jaga dimana pengunjung mengisi buku tamu dan membayar retribusi yang resminya Rp.2.000. Di pos jaga terdapat poster yang berisi informasi seputar Candi Sojiwan, dari mulai kisah pemugaran sampai foto sejumlah relief yang ada pada candi.
Ketika masuk ke dalam bilik Candi Sojiwan keadaannya cukup gelap, hanya berkas sinar lemah yang menerangi ruang yang masih kosong ini. Pada tengah dinding ujung ruang terdapat padmasana kosong, tempat dimana seharusnya arca Buddha diletakkan. Semoga arca itu telah terpasang ketika anda berkunjung ke sana. Tidak ada yang menarik pada dinding di sekeliling ruang ini, kecuali adanya relung yang juga masih kosong.
Ada pula relief Ghana dan Makara pada kaki bingkai pintu Candi Sojiwan Klaten. Di bawahnya, di atas kiri kanan ada relief manusia dengan gembolan di punggungnya menunggang singa; di tengahnya ada relief Ghana yang bertumpu di atas kepala seekor gajah yang belalai bagian bawahnya telah rusak namun kakinya masih utuh; lalu ada relief orang di bawah masing-masing singa.
Relief pada dinding luar kanan bawah Candi Sojiwan Klaten menggambarkan kisah perlombaan antara burung Garuda dengan Kura-kura. Garuda yang takabur pura-pura berbaik hati mengajak Kura-kura berlomba adu cepat. Jika menang Garuda akan memangsa seluruh Kura-kura yang ada, namun jika kalah maka Garuda berjanji akan berhenti memakan Kura-kura. Dalam perlombaan itu Garuda kalah setelah diakali oleh kura-kura yang cerdik, dan sejak itu Garuda berhenti memangsa kura-kura, hingga kini.
Tidak terdapat ukiran Kala pada gapura paduraksa yang berada beberapa langkah di depan pintu candi, namun ada relief Kala Makara pada pintu candinya. Kebanyakan susunan batu pada bingkai gapura padurkasa masih berupa batu polos, namun ada relief cantik pada bagian bawah bingkai pintu candinya. Bagian puncak candi juga relatif polos, didominasi oleh stupa-stupa yang melingkari kerucut kemuncak candi bertingkat lima. Hanya ada beberapa ornamen mahkota pada dasar setiap tingkat kelompok stupa.
Nama Sojiwan diduga ada hubungannya dengan Rakryan Sanjiwana, yang disebut dalam Prasasti Rukam berangka tahun 829 Saka (907 Masehi). Prasasti yang ditemukan di Desa Petarongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, itu menyebutkan bahwa raja menetapkan Desa Rukam di wilayah pusat kerajaan sebagai sima, semacam tanah perdikan yang bebas pajak, karena hancur oleh letusan gunung. Namun sima diwajibkan memelihara bangunan suci.
Menurut pembaca prasasti Rukam, Sanjiwana adalah nenek Raja Balitung, raya Mataram Kuno yang memerintah tahun 896 - 930 M dengan gelar Watukumara. Raja Balitung juga mendirikan kompleks Candi Prambanan yang dirintis Rakai Pikatan, dan baru selesai pada masa Raja Daksa, pengganti Balitung.
Jika dilihat dari jarak beberapa puluh langkah, Candi Sojiwan Klaten memang terlihat sangat 'polos', hanya berupa tumpukan batu dan stupa. Kurang mengesankan. Hanya jika dilihat dengan dekat, maka relief Candi Sojiwan yang menyimpan kisah-kisah menarik itu baru terlihat.
Relief Prajurit dan Saudagar di Candi Sojiwan bercerita tentang pertemanan seorang Punggawa kerajaan, dengan seorang prajurit dan seorang pedagang. Prajurit berikrar melindungi jika Punggawa terancam keselamatannya, sementara Saudagar siap memberi hartanya jika sewaktu-waktu Punggawa memerlukannya. Untuk menunjukkan persaudaraan mereka kepada isterinya, Punggawa berpura-pura kepada kedua temannya bahwa ia tidak terampuni oleh raja.
Saudagar mencari selamat dan mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, namun si Prajurit berkata bahwa dia siap membela Punggawa dengan tameng dan pedangnya. Ada yang menduga bahwa relief itu menceritakan kisah Dhawalamukha yang dimuat dalam Kathasaritsagara, sebuah buku yang berisi kumpulan cerita legenda, dongeng, dan cerita rakyat India abad-11 berbahasa Sanskerta yang diceritakan kembali oleh seorang Brahmana bernama Somadeva.
Hiasan makara pada pangkal pipi undakan Candi Sojiwan terlihat masih utuh dan indah, sedangkan yang di sebelah kiri hanya berupa susunan batu polos. Hiasan di pangkal pipi undakan sebelah kiri sebaiknya dibuat saja replikanya. Mudah-mudahan hanya soal waktu. Pada bagian bawah kaki candi, terlihat deretan relief yang merupakan daya tarik utama Candi Sojiwan ini.
Seluruhnya ada 20 relief di kaki Candi Sojiwan ini, namun hanya tersisa 19 relief, itu pun sebagian sudah tidak utuh lagi. Diantara relief itu adalah relief kisah: Buaya dan Kera, Gajah dan Setangkai Kayu pada Belalainya, Kambing dan Gajah, Kinnara, Lembu Jantan dan Seekor Serigala, Orang Berkepala Singa, Pendeta Ketam Ular dan Seekor Burung, Perkelahian Banteng dan Singa, Raja dan Putri Patih, Seekor Burung dengan Dua Kepala, Seorang Laki-laki dan Seekor Singa, Seorang Laki-Laki Tidur di Paha Perempuan, Seorang Pemburu Busur Anak Panah dan Serigala, Sepasang Angsa dan Kura-kura, Serigala Ikan dan Wanita, Tikus dan Ular.
Candi Sojiwan diteliti pertama kali oleh J.R. van Blom dan ditulis pada disertasinya di Universitas Leiden, terutama membahas hiasan pada candi. Pada 1813 Mackenzie menemukan pagar keliling Candi Sojiwan yang berjarak sekitar 40 m mengelilingi candi utama. Lalu J.F.G. Brumund melakukan penelitian pada bagian dalam candi dan menyebutnya Candi Kalongan. Pada 1893 penyusunan reruntuhan batu Candi Sojiwan dilakukan dibawah pimpinan Dorrepaal.
Proses restorasi Candi Sojiwan dimulai pada 1996, meskipun upaya rekonstruksinya telah dilakukan sejak jaman Belanda, mulai dari pencarian batu sampai ke anastilosis, yaitu metode pemasangan kembali batu-batu candi setelah tempat aslinya diketahui, berdasarkan kecocokan ukuran, sambungan, keselarasan, dan dengan mempertimbangkan bentuk arsitektur candi secara keseluruhan.
Masih banyak yang harus dibenahi di Candi Sojiwan ini, terutama restorasi relief-relief yang rusak, serta ornamen-ornamen candi yang kini kebanyakan masih berupa tumpukan batu polos. Bagaimana pun, berdirinya bangunan Candi Sojiwan saja telah merupakan sebuah hasil kerja yang patut dipuji, mengingat candi ini juga sempat runtuh ketika terjadi gempa pada 27 Mei 2006, menjelang akhir proses restorasi.
Untuk menuju candi dari arah Yogya - Solo, bisa belok ke kanan di perempatan lampu merah Prambanan, menyeberang rel, belok kiri di lapangan, belok kiri lagi di pertigaan, melewati kompleks SD dan Masjid An-Nur, beberapa meter lagi Candi Sojiwan ada di sebelah kanan jalan.
Maklumlah kunjungan saya ke Candi Sojiwan memang tidak lebih dulu direncanakan, demikian juga kunjungan ke Candi Plaosan. Lagipula, candi yang tingginya 27 m itu belum lama selesai dipugar dan diresmikan pada 16 Desember 2011, sehingga Pak Agus yang membawa mobil belum begitu mengenalnya.
Nah supaya tidak melakukan kekeliruan yang sama, ada baiknya sebelum menjelajah di wilayah Sleman dan Klaten, anda mempelajari dulu Peta Wisata Sleman dan Peta Wisata Klaten untuk merencanakan rute perjalanan. Sayang jika membuang waktu berharga yang bisa digunakan untuk mengunjungi tempat yang lain.
Ketika berjalan mendekati Candi Sojiwan, pejalan akan melihat candi dari sisi sebelah kanan, karena Candi Sojiwan ini menghadap ke arah Barat. Puncak yang berbentuk stupa, serta stupa-stupa kecil pada kemuncak di bawahnya menunjukkan bahwa Candi Sojiwan adalah sebuah candi Buddha. Deretan batu butih di latar depan adalah posisi tembok luar candi yang belum direkonstruksi. Di halaman juga terdapat rekonstruksi stupa yang tampaknya merupakan kemuncak candi perwara yang belum direstorasi. Jika dilihat dari arah samping Candi Sojiwa maka akan terlihat adanya gapura paduraksa di depan pintu candi.
Candi Sojiwan berada di sebuah area terbuka yang panjang halamannya lebih dari 100 m sebelum sampai ke candi utama, dengan melewati pos jaga dimana pengunjung mengisi buku tamu dan membayar retribusi yang resminya Rp.2.000. Di pos jaga terdapat poster yang berisi informasi seputar Candi Sojiwan, dari mulai kisah pemugaran sampai foto sejumlah relief yang ada pada candi.
Ketika masuk ke dalam bilik Candi Sojiwan keadaannya cukup gelap, hanya berkas sinar lemah yang menerangi ruang yang masih kosong ini. Pada tengah dinding ujung ruang terdapat padmasana kosong, tempat dimana seharusnya arca Buddha diletakkan. Semoga arca itu telah terpasang ketika anda berkunjung ke sana. Tidak ada yang menarik pada dinding di sekeliling ruang ini, kecuali adanya relung yang juga masih kosong.
Ada pula relief Ghana dan Makara pada kaki bingkai pintu Candi Sojiwan Klaten. Di bawahnya, di atas kiri kanan ada relief manusia dengan gembolan di punggungnya menunggang singa; di tengahnya ada relief Ghana yang bertumpu di atas kepala seekor gajah yang belalai bagian bawahnya telah rusak namun kakinya masih utuh; lalu ada relief orang di bawah masing-masing singa.
Relief pada dinding luar kanan bawah Candi Sojiwan Klaten menggambarkan kisah perlombaan antara burung Garuda dengan Kura-kura. Garuda yang takabur pura-pura berbaik hati mengajak Kura-kura berlomba adu cepat. Jika menang Garuda akan memangsa seluruh Kura-kura yang ada, namun jika kalah maka Garuda berjanji akan berhenti memakan Kura-kura. Dalam perlombaan itu Garuda kalah setelah diakali oleh kura-kura yang cerdik, dan sejak itu Garuda berhenti memangsa kura-kura, hingga kini.
Tidak terdapat ukiran Kala pada gapura paduraksa yang berada beberapa langkah di depan pintu candi, namun ada relief Kala Makara pada pintu candinya. Kebanyakan susunan batu pada bingkai gapura padurkasa masih berupa batu polos, namun ada relief cantik pada bagian bawah bingkai pintu candinya. Bagian puncak candi juga relatif polos, didominasi oleh stupa-stupa yang melingkari kerucut kemuncak candi bertingkat lima. Hanya ada beberapa ornamen mahkota pada dasar setiap tingkat kelompok stupa.
Nama Sojiwan diduga ada hubungannya dengan Rakryan Sanjiwana, yang disebut dalam Prasasti Rukam berangka tahun 829 Saka (907 Masehi). Prasasti yang ditemukan di Desa Petarongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, itu menyebutkan bahwa raja menetapkan Desa Rukam di wilayah pusat kerajaan sebagai sima, semacam tanah perdikan yang bebas pajak, karena hancur oleh letusan gunung. Namun sima diwajibkan memelihara bangunan suci.
Menurut pembaca prasasti Rukam, Sanjiwana adalah nenek Raja Balitung, raya Mataram Kuno yang memerintah tahun 896 - 930 M dengan gelar Watukumara. Raja Balitung juga mendirikan kompleks Candi Prambanan yang dirintis Rakai Pikatan, dan baru selesai pada masa Raja Daksa, pengganti Balitung.
Jika dilihat dari jarak beberapa puluh langkah, Candi Sojiwan Klaten memang terlihat sangat 'polos', hanya berupa tumpukan batu dan stupa. Kurang mengesankan. Hanya jika dilihat dengan dekat, maka relief Candi Sojiwan yang menyimpan kisah-kisah menarik itu baru terlihat.
Relief Prajurit dan Saudagar di Candi Sojiwan bercerita tentang pertemanan seorang Punggawa kerajaan, dengan seorang prajurit dan seorang pedagang. Prajurit berikrar melindungi jika Punggawa terancam keselamatannya, sementara Saudagar siap memberi hartanya jika sewaktu-waktu Punggawa memerlukannya. Untuk menunjukkan persaudaraan mereka kepada isterinya, Punggawa berpura-pura kepada kedua temannya bahwa ia tidak terampuni oleh raja.
Saudagar mencari selamat dan mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, namun si Prajurit berkata bahwa dia siap membela Punggawa dengan tameng dan pedangnya. Ada yang menduga bahwa relief itu menceritakan kisah Dhawalamukha yang dimuat dalam Kathasaritsagara, sebuah buku yang berisi kumpulan cerita legenda, dongeng, dan cerita rakyat India abad-11 berbahasa Sanskerta yang diceritakan kembali oleh seorang Brahmana bernama Somadeva.
Hiasan makara pada pangkal pipi undakan Candi Sojiwan terlihat masih utuh dan indah, sedangkan yang di sebelah kiri hanya berupa susunan batu polos. Hiasan di pangkal pipi undakan sebelah kiri sebaiknya dibuat saja replikanya. Mudah-mudahan hanya soal waktu. Pada bagian bawah kaki candi, terlihat deretan relief yang merupakan daya tarik utama Candi Sojiwan ini.
Seluruhnya ada 20 relief di kaki Candi Sojiwan ini, namun hanya tersisa 19 relief, itu pun sebagian sudah tidak utuh lagi. Diantara relief itu adalah relief kisah: Buaya dan Kera, Gajah dan Setangkai Kayu pada Belalainya, Kambing dan Gajah, Kinnara, Lembu Jantan dan Seekor Serigala, Orang Berkepala Singa, Pendeta Ketam Ular dan Seekor Burung, Perkelahian Banteng dan Singa, Raja dan Putri Patih, Seekor Burung dengan Dua Kepala, Seorang Laki-laki dan Seekor Singa, Seorang Laki-Laki Tidur di Paha Perempuan, Seorang Pemburu Busur Anak Panah dan Serigala, Sepasang Angsa dan Kura-kura, Serigala Ikan dan Wanita, Tikus dan Ular.
Candi Sojiwan diteliti pertama kali oleh J.R. van Blom dan ditulis pada disertasinya di Universitas Leiden, terutama membahas hiasan pada candi. Pada 1813 Mackenzie menemukan pagar keliling Candi Sojiwan yang berjarak sekitar 40 m mengelilingi candi utama. Lalu J.F.G. Brumund melakukan penelitian pada bagian dalam candi dan menyebutnya Candi Kalongan. Pada 1893 penyusunan reruntuhan batu Candi Sojiwan dilakukan dibawah pimpinan Dorrepaal.
Proses restorasi Candi Sojiwan dimulai pada 1996, meskipun upaya rekonstruksinya telah dilakukan sejak jaman Belanda, mulai dari pencarian batu sampai ke anastilosis, yaitu metode pemasangan kembali batu-batu candi setelah tempat aslinya diketahui, berdasarkan kecocokan ukuran, sambungan, keselarasan, dan dengan mempertimbangkan bentuk arsitektur candi secara keseluruhan.
Masih banyak yang harus dibenahi di Candi Sojiwan ini, terutama restorasi relief-relief yang rusak, serta ornamen-ornamen candi yang kini kebanyakan masih berupa tumpukan batu polos. Bagaimana pun, berdirinya bangunan Candi Sojiwan saja telah merupakan sebuah hasil kerja yang patut dipuji, mengingat candi ini juga sempat runtuh ketika terjadi gempa pada 27 Mei 2006, menjelang akhir proses restorasi.
Untuk menuju candi dari arah Yogya - Solo, bisa belok ke kanan di perempatan lampu merah Prambanan, menyeberang rel, belok kiri di lapangan, belok kiri lagi di pertigaan, melewati kompleks SD dan Masjid An-Nur, beberapa meter lagi Candi Sojiwan ada di sebelah kanan jalan.
Candi Sojiwan Klaten
Alamat : Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi GPS : -7.7606441, 110.4961579, Waze. Jam Buka : 07.00 - 17.00. Harga tiket masuk : Rp. 2.000. Peta Wisata Klaten, Tempat Wisata di Klaten, Hotel di KlatenSponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.