Beruntung Apey menggunakan supir untuk mengendarai mobilnya, sehingga kami bisa turun terlebih dahulu di depan kelenteng. Kelenteng Boen Bio terlihat sangat cantik, seperti baru saja bersolek, dengan warna-warni cat terang menyala khas kelenteng yang didominasi warna merah, kuning emas dan biru laut.
Kelenteng Boen Bio Surabaya kabarnya merupakan satu-satunya kelenteng khusus bagi penganut Konghucu di Asia Tenggara. Kelenteng aslinya dibangun pada 1883 di Kapasan Dalam dengan nama Boen Thjiang Soe, dan baru dipindahkan ke tempat yang sekarang atas saran Kang Yu Wei pada tahun 1907. Kang Yu Wei sendiri baru datang pada tahun 1904.
Kelenteng Boen Bio Surabaya dilihat dari seberang Jalan Kapasan yang sangat sibuk, sehingga meskipun akhirnya berhasil memotret ketika tidak ada kendaraan lewat, ada saja mobil yang parkir di depan kelenteng. Tepat di belakang pagar, terdapat sepasang patung Ciok Say, singa batu penjaga pintu masuk kelenteng dan penolak roh jahat. Singa jantan dengan bola di kakinya, sedangkan singa betina dengan anaknya.
Boen berarti sastera atau budaya, dan bio berarti kelenteng atau tempat ibadah. Kelenteng Boen Bio pada awalnya dibuat untuk memuja dewa kesusastraan Boen Tjhiang dan Khonghucu. Namun Patung Dewa Boen Tjhiang telah dipindahkan ke Kelenteng Kampung Dukuh.
Menempel pada gebyok kayu di bagian tengah atas kelenteng adalah plakat bertuliskan Sen Diau Nan Cing (Berkumandang ke Selatan), aseli pemberian Kaisar China, yang melambangkan penyebaran ajaran Khonghucu ke bagian Selatan China. Ada pula daftar para dermawan dalam aksara China yang menyumbang pemugaran kelenteng yang dipasang pada salah satu dindingnya.
Bagian ruang utama Kelenteng Boen Bio Surabaya dengan deretan bangku di kiri dan kanan ruang bagian depan yang belum pernah saya jumpai ada di kelenteng lain. Berbeda dengan kelenteng Tao yang sembahyangnya sepertinya kebanyakan bersifat individual, penganut Konghucu sepertinya ada ibadah seperti salat Jumat pada agama Islam atau Kebaktian pada agama Katolik / Kristen dimana ada khotib atau pendeta yang memberi wejangan agama.
Jika langit-langitnya terlihat sederhana saja, selain ornamen gantung, namun yang justru menarik adalah keramik pada lantai Kelenteng Boen Bio, karena terlihat sangat indah dan terkesan kuno, antik. Di ruang utama ini ada dua pilar naga yang melambangkan Tiong Si, tepo sliro, yang berarti bahwa dalam hidup ini sesama manusia harus bisa saling bertenggang rasa. Di altarnya juga ada nama Khonghucu dan nama delapan puluh murid terbaiknya, yang terpilih dari 3000 murid yang berguru kepadanya.
Yang tidak kalah menariknya di Kelenteng Boen Bio Surabaya adalah selain ada patung Khonghucu berukuran besar di sesi sebelah kiri ruangan maka ada pula potret Gus Dur dipasang di sisi sebelah kanan, seolah memberi penghormatan yang sejajar dengan maha guru Konghucu itu. Ini mengingatkan saya pada Perpustakaan Gus Dur di kompleks Taman Kebudayaan Tionghoa Indonesia di TMII Jakarta.
Ketika menjabat sebagai Presiden ke-4, Gus Dur menerbitkan Kepres 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Inpres No. 14 ini menetapkan larangan bagi penyelenggaraan semua kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia. Gus Dur juga menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif pada 2001, dan kemudian sebagai hari libur nasional dengan terbitnya Kepres 19 tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati.
Ornamen naga dengan kepala di bawah yang melilit tiang yang berisi lampu-lampu kecil ini seingat saya merupakan satu-satunya ornamen menarik pada langit-langit Kelenteng Boen Bio Surabaya. Naga, yang melambangkan kekuatan dan keadilan, adalah mahluk mitos yang memiliki mata kelinci, kepala unta, tanduk rusa, badan ular, sisik ikan, paha harimau dan bercakar rajawali.
Selain pada pilar, ornamen naga biasa ditemui di bagian atap kelenteng, pada hiolo dan lampion. Pada kain penutup meja altar dimana hiolo diletakkan terdapat sulaman binatang mitologi China yang disebut Kilin, yaitu hewan mitos yang memiliki badan rusa, berkepala naga, dengan surai dan ekor singa, yang bisa berjalan di atas air, dan memiliki sifat lembut, cerdas, bijak, berhati besar, menarik hati, serta berumur panjang. Konon Kilin menampakkan diri pada saat Khonghucu dilahirkan dan muncul kembali pada saat ia meninggal dunia.
Salah satu dari empat pilar naga di bagian depan Kelenteng Boen Bio Surabaya dengan detail ornamen dan warna kuning emas biru laut yang sangat indah. Pilar naga yang ada di sisi sebelah kiri juga tak kalah indahnya. Kebanyakan ukiran naga di dalam kelenteng dikerjakan dengan detail yang sangat teliti dan indah. Naga adalah penolak roh jahat dan penjaga keseimbangan Hongsui.
Konghucu, yang bernama aseli Zong Ni, lahir pada 27 Ba Yue ( bulan 8 ) 551 Sebelum Masehi, yang kemudian digunakan sebagai awal kalender Cina. Ia merupakan bungsu dari 11 bersaudara, 9 kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki yang memiliki cacat kaki. Ayahnya bernama Shu Liang He dan ibunya bernama Yan Zheng Zai. Ia menikah pada usia 19 tahun dan dikarunia seorang putera dan dua orang puteri.
Khonghucu pernah menjabat sebagai Walikota Zhong Dou dan Menteri Pekerjaaan Umum di Negeri Lu, serta Perdana Menteri merangkap Menteri Kehakiman. Jabatan itu ditinggalkannya ketika terjadi perbedaan antara dirinya dengan sang raja. Diikuti oleh murid-muridnya ia mengembara selama 13 tahun pada usianya yang ke 56 tahun. Menjelang akhir pengembaraan itulah Yan Hui, murid terpandai yang diharapkan dapat menggantikannya, meninggal pada 482 SM. Kematian sang murid membuatnya sangat berduka. Khonghucu sendiri meninggal pada 18 Erl Lu (bulan dua) 479 SM.
Karya Khonghucu terbagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah hasil rangkuman yang dilakukannya terhadap karya-karya terdahulu yang dianggapnya penting dalam mencapai keharmonisan, yang terdiri dari Shih Ching (buku Puisi), Shu Ching (buku Sejarah), I Li ( buku Upacara), I Ching (buku Perubahan), Yueh Ching (buku Musik) dan Ch'un Ch'iu (buku Musim Semi dan Musim Gugur). Yang kedua merupakan hasil rangkuman para muridnya yang berisi ajaran-ajaran Khonghucu kepada mereka. Yang kedua inilah yang kemudian dikenal sebagai Konfusianisme.
Menulis tentang Kelenteng Boen Bio Surabaya membuat saya menjadi sedikit lebih faham tentang Imlek, yang sebentar lagi akan dirayakan oleh masyarakat keturunan Cina yang masih setia menjaga tradisi leluhurnya yang telah berlangsung ribuan tahun. Tradisi bisa menjadi pengikat suatu kaum, apa pun agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing anggotanya.
Kelenteng Boen Bio Surabaya
Alamat : Jalan Kapasan 131, Surabaya. Lokasi GPS : -7.23930, 112.74796, Waze. Rujukan : Hotel di Surabaya, Tempat Wisata di Surabaya, Peta Wisata SurabayaLabel: Jawa Timur, Kelenteng, Surabaya, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.