Halaman depan Hotel Majapahit hanya menyisakan beberapa petak untuk parkir kendaraan, namun tepat setelah jalan masuk hotel terdapat sebuah lorong menuju tempat parkir yang berada di samping belakang bangunan utama hotel. Dari area parkir itu terdapat sebuah lorong yang terhubung dengan bagian belakang hotel.
Model bangunan Hotel Majapahit Surabaya yang didirikan pada 1910 dan dibuka 1911 oleh Lucas Martin Sarkies dengan arsitek James Afprey ini awalnya bergaya art noveau, namun pada 1936 dilakukan perubahan oleh pemiliknya menjadi gaya art deco yang sedang populer saat itu.
Pandangan pada bagian depan bangunan Hotel Majapahit Surabaya, dilihat dari pintu keluar, dengan pohon-pohon palem dan tanaman perdu lainnya yang menyegarkan pandangan. Di depan area hotel terdapat jalur pedestrian luamayan lebar yang cukup baik kondisinya. Sebuah bendera Merah Putih tampak berkibar di atas gedung, dengan salah satu dari dua menara kembar di belakangnya, namun bukan di tempat itu insiden bendera terjadi.
Tak ada penjagaan ketat di hotel ini, sebagaimana umumnya hotel di jaman damai dimana ancaman teroris masih relatif tak ada. Namun jika politik kebencian terus digunakan untuk meraih kekuasaan, dan didiamkan, maka tinggal menunggu waktu akan terjadinya tindak kekerasan. Oleh sebab itu elit politik yang membiarkan kader, konstituen dan simpatisannya menggunakan fitnah dan menyulut kebencian harus dikutuk, apalagi jika malah mendorong dan bahkan menjadi dalangnya.
Sang Saka Merah Putih berkibar di atas menara Hotel Majapahit Surabaya di tempat dimana terjadi insiden penyobekan bendera 3-warna merah-putih-biru menjadi sang dwi warna Merah Putih. Pada dinding di bawahnya ada prasasti dengan bendera merah putih kecil pada kolom sebelah kiri yang menceritakan kisah heroik yang terjadi ketika umur republik ini masih sangat muda.
Prasasti itu berbunyi: "Pada tanggal 19 September 1945 ... Ketika melihat bendera putih merah-biru berkibar kembali di Hotel Oranje (Yamato Hotel ), kemarahan rakyat dan pemuda-pemuda di Surabaya tidak tertahan lagi. Dengan serempak rakyat bergerak, suasana menjadi panas, Jalan Tunjungan menjadi lautan manusia yang bergelora... Terjadilah... Insiden bendera, fajar permulaan meletusnya api revolusi, karena rakyat hanya menghendaki supaya Sang Dwi-Warna Merah Putih saja yang berkibar di angkasa - Indonesia, sedang si-tiga warna harus turun... Kemudian... berkibarlah Sang Dwi-Warna hingga detik sekarang dan untuk seterusnya sebagai lambang kemegahan dan kejayaan Nusa dan Bangsa Indonesia"
Penampakan pada puncak atap Hotel Majapahit Surabaya seraya membayangkan suasana tegang di sini ketika para pemuda melakukan aksi heroiknya. Sebelumnya kami masuk ke dalam hotel dan lalu naik ke lantai dua dimana ada lorong memanjang dengan lantai berlapis keramik klasik elok, lampu-lampu gantung antik, dan pilar-pilar pagar pembatas berbentuk lengkung di bagian atasnya.
Halaman tengah hotel merupakan taman dengan rerumputan hijau segar dan tempat duduk untuk bersantai sambil menikmati suara gemercik air mancur. Pada jaman kolonial, Hotel Majapahit bernama Hotel Oranje, sesuai dengan warna dominan pada hotel yang merupakan warna kesukaan orang Belanda. Pada masa pendudukan Jepang namanya berubah menjadi Hotel Yamato.
Sudut pandang berbeda pada puncak atap Hotel Majapahit Surabaya dimanat terdapat dua prasasti yang menempel pada pilar di sebelah kiri dan kanan pintu. Prasasti yang di sebelah kiri ditulis dalam bahasa Inggris, dan yang kanan dalam bahasa Indonesia. Isinya sama dengan prasasti yang ada di bawah tiang bendera pada foto kedua di atas. Prasasti yang ada di atas atap ini ini dibuat pada 10 November 1970 dengan menggunakan ejaan lama.
Ketika masuk melewati pintu di sebelah prasasti ini kami bisa melihat ruang pertemuan Hotel Majapahit Surabaya yang terlihat indah. Dinding pada bagian bawahnya dilapis kayu, langit-langit berbentuk lengkung dengan tiga buah lampu gantung antik serta lampu-lampu dinding yang menciptakan efek pencahayaan yang mengesankan.
Insiden Hotel Yamato bermula ketika sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan W.V.Ch Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), pada pukul 21.00, tanggal 18 September 1945, di tiang tingkat teratas Hotel Yamato di sisi utara. Esok harinya, para pemuda Surabaya yang melihatnya pun menjadi sangat marah dan menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak menjaja h kembali, dan melecehkan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di berbagai tempat di Surabaya.
Dalam waktu singkat Jl. Tunjungan dibanjiri massa. Mereka memadati halaman hotel dan halaman gedung yang bersebelahan. Tidak lama kemudian, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang kala itu menjabat Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui Jepang, sekaligus menjabat Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, melewati kerumunan massa dan masuk ke dalam Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono untuk berunding dengan Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta mereka segera menurunkan bendera Belanda dari atas gedung Hotel Yamato.
Namun Ploegman menolak menurunkan bendera Belanda dan menolak mengakui kedaulatan Indonesia. Suasana memanas, Ploegman mencabut pistol, dan terjadi perkelahian. Ploegman tewas dicekik Sidik, yang kemudian tewas oleh tentara Belanda yang masuk setelah mendengar letusan pistol Ploegman. Sudirman dan Hariyono lari keluar Hotel Yamato. Para pemuda kemudian mendobrak masuk ke dalam Hotel Yamato dan terjadi perkelahian di lobi. Sebagian pemuda bergegas naik ke atas hotel, termasuk Hariyono yang kemudian terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengerek kembali bagian Merah Putih ke puncak tiang. Massa di bawah hotel pun menyambut riuh peristiwa itu dengan pekik 'Merdeka' berulang kali.
Pembaca, kemerdekaan NKRI yang direbut para pejuang dari penjajah dengan susah payah ini wajib dipertahankan dan kita jaga. Jangan biarkan paham asing berkedok agama merusak kebhinekaan dan kerukunan kita sebagai bangsa yang besar dan majemuk ini. Di negeri ini setiap warga berdiri sama tinggi duduk sama rendah, tak peduli apa suku dan agamanya. Jangan ubah itu. Jangan percaya pada mereka yang berdalih bela agama, namun senang menebar fitnah, kebencian dan membuat kerusakan di bumi pertiwi ini. Percayalah pada mereka yang punya ahlak tinggi dengan menebar kasih sayang dan kebaikan pada sesama, karena ahlak dan adab adalah esensi dalam beragama.
Hotel Majapahit Surabaya
Alamat : Jl. Tunjungan 65, Surabaya. Lokasi GPS : -7.26039, 112.73941, Waze. Rujukan : Hotel di Surabaya, Tempat Wisata di Surabaya, Peta Wisata SurabayaBagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.