Gubernur Suryo adalah gubernur Jawa Timur RI pertama (1945 - 1947), seorang patriot dan Pahlawan Nasional yang dengan berani dan tegas menolak ultimatum yang dikeluarkan tentara Inggris menyusul tewasnya Mallaby pada sebuah pertempuran di dekat Jembatan Merah Surabaya.
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo lahir 9 Juli 1898 di Magetan, Jawa Timur, tamat OSVIA (sekolah pamong praja) di Magelang pada 1918 dan mengikuti Pendidikan Polisi di Sukabumi pada 1922. Selepas sebagai Gubernur Jawa Timur, pada 1947 ia diangkat menjadi Wakil Ketua DPA berkedudukan di Yogyakarta.
Pandangan pada Monumen Suryo Surabaya di sebuah malam yang bermandi cahaya lampu Taman Apsari dengan lingkungan cukup hijau rimbun, sementara sejumlah sepeda motor dan pemiliknya tampak berkerumun di dekatnya. Foto ini diambil dari area depan Gedung Grahadi, mengarah ke Arca Joko Dolog yang berada tak jauh di sebelah kiri belakangnya.
Monumen Suryo Surabaya berada di tepi Jl. Gubernur Suryo, dikelilingi oleh dua lapis air mancur, sehingga mudah menarik para pengendara sepeda motor untuk sekadar mampir. Lagipula ada semacam area parkir tak resmi di lekuk jalur pedestrian di depannya. Sebelum menjadi gubernur, Ario Suryo adalah Bupati Magetan (1938 - 1943) dan kemudian menjabat sebagai Syuchokan (Residen) Bojonegoro pada jaman pendudukan Jepang.
Penampakan Monumen Suryo Surabaya ketika air mancur dinyalakan di sekelilingnya, tepat ketika matahari berada di atas kepala. Prasasti dengan dasar kuning di bawah kaki patung berisi petikan pidato Gubernur Suryo yang berbunyi "Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu."
Pidato itu disampaikan melalui corong radio pada Jumat malam, 9 November 1945, pukul 23.00, setelah sebelumnya berunding dengan Komandan Tentara Keamanan Rakyat Kolonel Sungkono, Residen Sudirman, Dul Arnowo serta tokoh lainnya. Ini adalah keputusan heroik pemimpin Surabaya, dan rakyat Surabaya berdiri sepenuhnya di belakang mereka, karena pada pukul 22.00 malam itu Mr Subarjo mengatakan kepada Gubernur Suryo lewat telepon bahwa presiden: “Menyerahkan kebijaksanaan kepada Gubernur dan bertanggung jawab sepenuhnya.”
Dr Francis Palmos, sejarawan penulis buku Sacred Territory, menulis artikel yang berisi pidato lengkap Gubernur Suryo, yaitu: “Saudara-saudara sekalian. Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali, sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri. Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan.
Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu. Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta rahmat dan taufik dalam perjuangan.
Selamat berjuang!"
Mengharukan. Ketika Jakarta memutuskan untuk diam, Surabaya tampil dengan kualitas kepemimpinan sejati dan dengan semangat pengorbanan luar biasa dari rakyatnya bagi kehormatan bangsa dan tegaknya negara.
Dr Francis Palmos juga menyebutkan pidato Kolonel Sungkono pada malam 10 November itu, yang diucapkan di hadapan ribuan arek Surabaya muda dan anak buahnya di Unit 66, yaitu: “Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya… Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan; tapi saya akan mempertahankan kota sendiri…” dan tidak ada satu pun anak buah yang meninggalkannya.
Monumen Suryo Surabaya dengan latar Gedung Grahadi tampak terlihat di seberang jalan. Monumen ini menjadi salah satu tempat pengingat bagi peristiwa pertempuran dahsyat yang berkecamuk ketika tentara Inggris menggempur Kota Surabaya dari darat, laut dan udara pada 10 November 1945, dan baru berakhir tiga minggu kemudian.
Peristiwa pertempuran paling dahsyat selama revolusi kemerdekaan ini memakan korban tewas 6.000 - 16.000 dari rakyat Indonesia. Sementara di pihak Sekutu, 600 - 2000 tentara tewas, dari sejumlah 16.000 pasukan tempur Divisi Infanteri ke-5 AFNEI yang diterjunkan di Surabaya ditambah sisa pasukan Brigade 49 - Divisi 23 di bawah pimpinan Kolonel Pugh, pengganti Mallaby, yang ketika tiba di Surabaya berjumlah 6.000 pasukan.
Divisi Infanteri ke-5 ini sebelumnya adalah bagian dari pasukan Eighth Army Sekutu dibawah Bernard Montgomery yang dalam pertempuran di El Alamein Mesir berhasil mengalahkan Korps Afrika Tentara Jerman dibawah pimpinan Rommel yang masyhur dan terkenal dengan sebutan "Rubah Gurun". Namun Rommel sendiri absen pada pertempuran besar ini karena sakit kuning dan sedang dirawat di Eropa.
Pandanga samping pada Monumen Suryo Surabaya, sementara di belakangnya sekelompok anak muda tampak tengah duduk-duduk beristirahat di depan area monumen, tampaknya tengah membicarakan suatu persoalan. Di sisi sebelah kanan ada lagi prasasti pendek yang tak saya catat detailnya namun seingat saya adalah menandai peresmian berdirinya monumen ini.
Dalam pertempuran Surabaya itu, Pasukan TKR yang bersenjatakan perlengkapan tempur rampasan dari tentara Jepang dan laskar pejuang serta rakyat yang bersenjatakan bambu runcing dan senjata tradisional lainnya, harus menghadapi gempuran dari laut yang dilancarkan dari Fregat HMS Loch Green dan HMS Loch Glendhu serta kapal penjelajah HMS Sussex, belum lagi pemboman dan serangan udara yang dilancarkan 20 pesawat tempur Mosquito dan 12 pesawat pemburu P-4 Thunderbolt.
Di darat, pasukan Sekutu didukung tank Stuart, 21 tank Sherman, sejumlah Brenncarrier, meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 cm. Hanya semangat pengorbanan luarbiasa dari para pejuang yang membuat tentara Sekutu baru bisa menguasai sepenuhnya Kota Surabaya setelah bertempur selama tiga minggu.
Meskipun rakyat Surabaya dikalahkan oleh Inggris, namun Pertempuran Surabaya memberi kemenangan strategis bagi Republik, termasuk menyadarkan Inggris akan keberanian dan semangat pengorbanan luarbiasa rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, mempermalukan Belanda yang yakin bahwa perlawanan rakyat Indonesia tidak mendapat dukungan luas, serta membuat nama Surabaya dan Republik Indonesia menjadi berita dan dikenal di seluruh dunia. Tekanan internasional serta munculnya keberatan dari India membuat Inggris mendesak Belanda untuk duduk di meja perundingan, dan tidak mau lagi dikotori tangannya untuk membela kepentingan Belanda.
Pada 10 September 1948, dalam perjalanan untuk menghadiri peringatan 40 hari adiknya yang tewas dibunuh PKI, mobil yang dikendarai RMT Suryo dicegat di tengah hutan Peleng, Desa Bogo, Kedunggalar, Ngawi, oleh sisa-sisa pemberontak PKI. Dua perwira polisi yang kebetulan lewat mengendarai mobil, yaitu Komisaris Besar Polisi M Duryat da Komisaris Polisi Suroko, juga ikut dicegat. Mereka ditelanjangi, diseret ke dalam hutan dan dibunuh.
Jenazahnya ditemukan seorang pencari kayu bakar di Kali Kakah, Dukuh Ngadu, Ngawi, setelah empat hari kemudian, dan dikebumikan di makam Sasono Mulyo, Sawahan, Magetan, kota kelahirannya. RMT Suryo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 294 tahun 1964, yang diterbitkan pada 17 November 1964.
Monumen Suryo Surabaya
Alamat : Taman Apsari, Jl. Gubenur Suryo, Surabaya. Lokasi GPS : -7.26359, 112.74288, Waze. Rujukan : Hotel di Surabaya, Tempat Wisata di Surabaya, Peta Wisata SurabayaLabel: Jawa Timur, Monumen, Surabaya, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.