Penanda ke Curug Cadas Ngampar yang dipasang di tepian jalan berbatu yang menyimpang dari jalan utama di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pertigaan ke jalanan berbatu yang menurun ini lokasinya berada di GPS -6.68549,106.68425, beberapa ratus meter setelah melewati gerbang tiket Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Bogor.
Batuan cadas terhampar luas di sepanjang aliran sungai di sebelah bawah. Cadas yang terhampar atau ngampar inilah yang tampaknya digunakan penduduk sebagai nama curug yang letaknya berada di ujung bebatuan ini. Namun saat itu kami tidak turun ke bawah bebatuan ini dimana terdapat kolam alam di bawah curug yang bisa digunakan untuk mandi.
Curug Putri berketinggian sekitar 7 m dengan lebar kolam di bawahnya 5 m. Aliran airnya cukup pelan dan jernih, sehingga dengan mudah mengundang orang untuk mencebur ke dalam kolamnya. Yang juga menarik adalah tekstur batuan cadas pada tebing di pinggiran curug. Batuan vulkanik yang mungkin terbentuk ribuan atau jutaan tahun yang lalu.
Aliran sungai yang mengalir diantara celah-celah bebatuan gunung menuju ke Curug Cadas Ngampar di bawahnya. Air sungai yang terlihat sangat bening dan bersih ini terasa dingin terasa segar ketika disapukan ke wajah.
Tengara dan gubug itu meski sederhana namun terlihat serasi dengan alam di sekitarnya. Begitulah seharusnya bangunan di alam seperti ini. Tidak menggunakan semen, plastik, dan bahan lain yang mengganggu serapan air.
Senyum Lita saat menengok, sementara Fenty berjongkok mencoba memotret serakan daun pinus kering yang rontok terhampar di jalanan berbatu.
Jalanan berbatu lebar menurun yang diapit oleh hutan pinus muda, yang ujungnya berbelok ke kiri menuju ke arah Curug Cadas Ngampar. Kami berjalan kaki melewati jalanan berbatu kasar ini, dan perlu sedikit berhati-hati agar tidak tersandung atau terpeleset.
Pemandangan pada perbukitan dan rumah yang melingkari kaki bukitnya, dilihat dari selasa pepohonan di area terbuka jalan simpang menuju Curug Cadas Ngampar. Rumah-rumah seperti itu meski terlihat menyenangkan namun bisa sangat rawan posisinya bila huja lebat turun terus menerus, tanah menjadi gembur, dan bisa menimbulkan bahaya longsor.
Bukit landai yang sudah dijamah tangan manusia, dan nyaris tak ada pepohonan besar di sana, dan penebangnya pun tak pula mau repot untuk menanam kembali bagi generasi mendatang. Kawasan sekitar Gunung Halimun Salak ini benar-benar harus dijaga agar tetap menjadi area serapan air yang bisa diandalkan.
Area terbuka pada pada GPS -6.68694, 106.68350 yang tanahnya belum lama dibersihkan dimana terdapat jalan simpang menuju Curug Cadas Ngampar dan Curug Penganten. Gubug bambu di sebelah kiri masih belum lagi diberi atap, dengan batang-batang kayu kecil untuk atap dan dinding masih menggeletak di depannya.
Senyum cerah Lita dan Fenty yang tengah melipat celananya di udara pegunungan Gunung Salak yang segar. Bangku bambu di samping pohon pinus besar itu juga selaras dengan alam. Murah lagi, tinggal menebang dari gerumbul bambu.
Fenty dengan gaya angkat kaki yang jadi andalannya. Jika saja ada degan muda dan gula aren tentu akan sangat nikmat digerumuti di tempat seperti ini.
Fenty masih dengan sepak kaki melayangnya sementara Lita tertawa melihat ulah foto model wannabe yang kesasar jadi jurnalis itu.
Fenty di ujung jalan setapak menurun yang menuju ke batang sungai dimana Curug Cadas Ngampar dan Curug Putri berada.
Fenty dengan gaya kaki bangau lipatnya. Kawan hulu sungai yang relatif masih terjaga membuat air sungai yang di belakang sana masih terlihat jernih dan layak mandi.
Aliran sungai di ujung jalanan berbatu menurun yang berada di bagian atas Curug Cadas Ngampar. Kondisi alam di sekitar Curug Cadas Ngampar ini memang masih sangat alami, dengan sentuhan tangan dan kaki manusia yang masih sangat sedikit. Di sebelah kanan adalah sebagian kecil dari bebatuan cadas berbentuk memanjang yang merupakan bagian sebelah atas dari Curug Cadas Ngampar.
Arah hulu pada sungai di atas Curug Cadas Ngampar. Jalanan setapak dengan undakan yang ada di sebelah kanan adalah lintasan jalan berbatu menuju ke arah Curug Putri, yang jaraknya cukup dekat dari saya berdiri.
Sebuah tandon air sungai yang berada beberapa meter di atas Curug Cadas Ngampar yang bisa digunakan untuk mandi dan berendam, menikmati dingin air pegunungan yang menyegarkan.
Kondisi alami kawasan di sekitar Curug Cadas Ngampar bisa terlihat pada foto ini, dengan Lita yang tampak tengah berdiri di atas rumput di bibir tebing sungai yang rendah dengan berpegang pada sebatang pohon kecil.
Salah satu jejak tangan manusia terlihat pada tatanan batu yang menjadi undakan pada lintasan menuju ke area Curug Putri. Meskipun tak rapi, namun sudah sangat membantu bagi kaki untuk menapakinya tanpa perlu takut terpeleset.
Kondisi alami sungai yang berada di bagian bawah Curug Putri, atau beberapa meter di atas Curug Cadas Ngampar, dengan serakan bebatuan berukuran sedang di tengah sungai, dan tebing batu di kiri kanannya.
Tebing batu berlapis-lapis ini terlihat dalam perjalanan menuju ke Curug Putri. Entah ini benar batuan alam, atau pernah mendapatkan sentuhan tangan manusia karena ada bagian yang cukup rata pada dinding tebing batu ini. Saya harus melipir tebing ini untuk mendekati Curug Putri.
Tebing batu yang terlihat lebih halus dari tebing sebelumnya. Batuan ini juga menyerupai batuan tunggal, tidak berlapis seperti batuan sebelumnya. Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak terdapat banyak peninggalan budaya jaman megalitikum, namun hanya sebagian kecil yang elah tergali. Melihat lokasinya yang berada di pinggang gunung yang dikeramatkan, mestinya ada juga peninggalan agama Hindu.
Sebatang akar pohon yang menjulur keluar dan menggantung di dekat bebatuan gunung yang keras. Sekeras-kerasnya batu suatu saat bisa kalah dan retak oleh akar tunjang pohon pegunungan yang tumbuh membesar dengan berjalannya waktu.
Curug Putri yang diambil fotonya dengan menggunakan kecepatan shutter normal, tidak diperlambat, sehingga butir airnya terlihat kasar. Adanya sejumlah batu di pinggiran kedung saya kira juga merupakan pekerjaan tangan manusia.
Tebing di bagian sebelah kiri Curug Putri yang tersusun seperti patahan vertikal dengan bentuk-bentuk batu yang sedikit berbeda. Dinding tebing di kiri kanan sungai ini terlihat lembab, dan lumut hijau yang tumbuh subur menandai paparan air pada batu yang tinggi.
Retakan pada dinding batu yang lembab oleh rembesan air. Gempa bumi dahsyat akibat letusan gunung bisa menjadi sebab retaknya dinding batu itu, selain karena akar pohon.
Sejenis pohon paku-pakuan yang batangnya sudah cukup besar kami lihat di sekitaran curug, dengan batang daun muda yang ujungnya masih melingkar tampak seperti puteri yang malu-malu.
Lita tak beda dengan orang kota pada umumnya yang tak bisa lama-lama meninggalkan gadgetnya, meski berada di tempat terpencil seperti di area Curug Cadas Ngampar ini.
Pemandangan ke arah hulu dari area di sekitar hamparan batu cadas yang ada di sebelah atas Curug Cadas Ngampar. Adanya undakan batu di sebelah kanan sebenarnya menunjukkan bahwa tempat ini tidak sama sekali baru, namun entah mengapa baru dibuka belakangan dibuka.
Hamparan batuan yang berada di atas Curug Cadas Nganpar. Jalan setapak yang terlihat di ujung sebelah kiri tampaknya merupakan akses ke bagian bawah Curug Cadas Ngampar. Namun kami tidak sempat masuk ke sana.
Bunga elok yang tumbuh liar di alam bebas akan selalu menarik bagi orang kota. Sebaliknya orang desa mudah terpesona dengan bunga artifisial mencorong yang dibesarkan oleh orang kota dengan segala kosmetik dan dandanannya.
Curug Penganten yang dicapai melalui jalan setapak menurun, tidak begitu jauh dari persimpangan jalan yang menuju ke Curug Cadas Ngampar. Debit air Curug Pengantin ini tidaklah begitu besar, namun cukup tinggi.
Foto Curug Penganten yang diambil dengan kecepatan tidak diperlambat, memperlihatkan butir air yang jatuh ke kedung dangkal di bawahnya. Akan menyenangkan jika saja bisa mandi di bawah air terjun kecil seperti ini.
Melihat aliran air di Curug Penganten ini saya membayangkan rambut seorang wanita yang panjang, namun kerapatan rambutnya jarang. Namun di musim hujan mungkin saja debit airnya akan berlipat ganda dan akan terlihat seperti rambut gemuk seorang wanita yang cantik nan mempesona.
Bilah bambu sebagai pegangan bagi pengunjung yang ingin turun mendekati kolam di dasar Curug Penganten. Tampaknya menyenangkan juga untuk bermain air dan mandi di bawah pancuran yang tidak begitu deras alir airnya ini.
Di lembah yang subur ini sudah terlihat beberapa rumah berdiri di sebelah sana. Tak membutuhkan waktu lama untuk rumah-rumah itu beranak pinak dan menggersangkan tanah dan pemandangan, jika tak dikendalikan dengan ketat.
Dari tebing tinggi tepat di samping atas Curug Penganten, kami memiliki bidang pandang yang luas ke arah perbukitan dan lembah di bawahnya. Jika saja punya waktu cukup mungkin menyenangkan untuk turun ke sana. Lokasi Curug Pengaten ini berada pada GPS: -6.68736, 106.68279.
Pemandangan ke area persawahan yang baru saja ditanami dengan padi, dan ladang kosong di sebelahnya yang hanya ditanami pohon pisang. Tempat duduk bambu dan rumah gubug tampak di latar depan, mungkin milik petani yang menggarap sawah di depannya itu.
Fenty dengan tawa lepasnya. Selain berbakat jadi foto model, perempuan ini mestinya punya bakat bagus untuk berakting di film, mungkin film laga seperti Rita Zahara di tahun 70-an.
Gaya Fenty di jalanan berbatu yang ditaburi daun pinus tua.
Tak jelas apakah perempuan ini pernah belajar Takwondo atau silat gaya Cikalong sehingga gemar mengangkat kakinya.
Hutan pinus dengan permadani kuning di permukaan tanah dari rontokan daunnya yang telah tua.
Akses jalan berbatu ke arah Curug Cadas Ngampar itu diapit hutan pinus muda yang cukup padat. Sampah daun pinus yang menyerupai jarum panjang berwarna kekuningan terhampar di sepanjang jalan. Foto diambil saat kami berjalan meninggalkan curug menuju ke pinggir jalan dimana mobil diparkir.
Gaya Lita yang hampir tak pernah lepas dari gadgetnya. Wanita ini punya jiwa, rasa dan ketrampilan seni tinggi. Genggam tangannya juga stabil sehingga sangat baik sebagai pemotret.
Pohon batang pinus ini mengingatkan saya pada jajaran gelondongan kayu yang menjadi alas pijakan kaki di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga di Belitung.
Fenty dengan latar rumpun bambu, yang satu diantaranya masih muda. Bambu muda, yang dikenal dengan nama rebung, sering diambil orang untuk dimasak di dapur.
Label:
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.