Langgar ini berada di sebuah gang kecil yang hanya bisa dilewati sepeda motor, sekitar 180 meter dari Jalan Sunan Kudus, atau jika masuk dari Jl. Dr. Wahidin maka bisa jalan kaki masuk ke dalam gang sejauh 200 meter. Nama Langgar Bubrah Kudus mengingatkan saya pada sebuah reruntuhan candi yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan.
Gang yang berada di sebelah timur dan sejajar dengan Jl Kyai Telingsing itu sebenarnya lurus saja, dan pasti ketemu langgarnya jika sudah ada di dalam gang ini, namun saya sempat bertanya saat berpapasan dengan seorang penduduk, hanya untuk memastikan. Bertanya memang mudah, menjawabnya yang kadang susah, oleh karena itu bertanya belum tentu tak sesat di jalan, jika bertemu orang yang salah.
Tanda Langgar Bubrah Kudus yang mencolok, ditulis dengan huruf besar berwarna putih di atas dasar hitam yang kontras. Di bawahnya ada pernyataan bawah situs ini merupakan benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Diperkuat dengan plang di sebelahnya yang berisi larangan merusak, mengambil, memindahkan, mengubah bentuk, dan memisahkan bagian kelompok dan kesatuan, yang dibuat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
Meskipun namanya Langgar Bubrah, namun bangunan yang terbuat dari susunan bata merah telanjang ini tidak atau belum sepenuhnya runtuh karena struktur dindingnya masih ada, sebagian masih rapi dan sebagian retak di sana sini.
Namun tinggi dinding Langgar Bubrah Kudus terlihat tidak rata, ada yang sampai 2,5 meter dan ada yang tinggal semetaran saja. Bangunan ini dinaungi atap genteng berbentuk joglo yang meninggi di tengahnya. Atap itu tidak asli dari dulunya, namun dibuat hanya untuk melindungi bangunan bata di bawahnya.
Langgar yang dibangun sebelum Masjid Menara itu kabarnya merupakan basis awal penyebaran Islam di Kudus sebelum Menara dibangun. Ada beberapa mitos yang berkembang sehubungan dengan rusaknya langgar ini. Salah satunya adalah ketika Pangeran Pontjowati sedang menyelesaikan pembangunan langgar menjelang subuh, ia melihat seorang janda sedang menyapu yang membuatnya pergi tak menyelesaikan pembuatan langgar dan merubah wanita itu menjadi patung. Patung itulah yang terpahat pada batu yang ada di sana.
Ada yang menarik ketika kami mengelilingi bangunan langgar yang tak begitu besar ini, yaitu adanya batu tegak yang bentuknya agak aneh karena tak sepenuhnya persegi dan bagian atasnya rompal, sebuah batu bundar dengan lubang di tengahnya yang mungkin merupakan umpak atau landasan tiang kayu, dan sebuah batu lagi yang permukaannya segi empat dan mengecil di tengahnya. Kedua batu pertama berwarna kehitaman, sedangkan yang terakhir bersemu coklat putih.
Yang tak kalah menariknya adalah adanya ornamen pada dinding batu bata yang ada di sebelah ketiga batu itu. Meskipun bagian bawah susunan batanya sudah terlihat sudah berantakan, namun bagian yang ada ornamennya relatif masih bagus. Hanya saja sulit untuk menyebutkan bentuk apa yang hendak digambarkan pada ornamen itu, selain bunga dan dedaunan.
Tidak terlihatnya bentuk hewan atau manusia pada Langgar Bubrah Kudus boleh jadi karena sudah sepenuhnya dipengaruhi oleh tradisi dalam agama Islam, yang umumnya hanya memperbolehkan ornamen dalam bentuk suluran, dedaunan dan bebungaan. Karenanya tidak akan pernah ditemukan adanya ornamen dalam bentuk hewan atau orang di dalam tempat ibadah agama Islam.
Langgar Bubrah ini konon dibangun pada sekitar tahun 1533 Masehi oleh Pangeran Pontjowati, yang menikahi puteri Sunan Kudus bernama Ratu Prodobinabar. Makam Pangeran yang disebut sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang ini saya jumpai saat berkunjung ke Makam Sunan Kudus.
Meski ada pendapat bahwa langgar ini tak selesai dibuat, namun saya cenderung pada anggapan bahwa langgar ini dahulunya sempurna hanya saja kemudian rusak, entah dimakan waktu atau rusak semasa perang yang terjadi di berbagai jaman. Walau nyaris berupa reruntuhan, namun Langgar Bubrah Kudus ini masih menarik untuk dikunjungi.
Sebuah dinding bata rendah dengan ornamen berbentuk berlian dan bulatan berada dalam kotak-kotak, dan di atasnya ada batu memanjang dengan relief orang di bagian bawah dan lekuk bermotif dedaunan yang dibuat simetris repetitif hingga sampai ke ujung. Posisi asli batu memanjang itu kemungkinannya adalah tegak, entah sebagai pilar penyangga atau berada pada sisi pintu masuk.
Pandangan pada dinding dengan sepasang gapura yang memisahkan bagian luar dan bagian dalam langgar sempat saya ambil fotonya. Dalam keadaan utuh, gapura ini mestinya berbentuk paduraksa karena memisahkan bagian tengah dengan bagian dalam dimana ibadah biasa dilaksanakan. Relief pada dinding bata juga terlihat pada tembok di ujung sana.
Selain adanya dinding-dinding bata yang memiliki relief bebungaan, berlian, bulatan, dan bentuk lainnya, ada pula sejumlah batu kuno yang sepertinya merupakan peninggalan dari jaman kebudayaan Hindu Buddha, atau boleh jadi berumur lebih tua lagi. Di dalam ruang utama juga ada lekukan segi empat yang menyerupai tempat bagi imam.
Agak sulit untuk mengkaitkan langgar ini sebagai peninggalan kebudayaan Hindu, namun adanya relief orang, dan batu tegak yang mungkin adalah lingga, bisa jadi merupakan sedikit dari petunjuk keterkaitan itu. Ada atau tidak, mungkin sudah waktunya langgar ini direstorasi sehingga bisa menjadi bangunan utuh yang anggun memikat, karena memelihara warisan budaya tidak mesti harus membiarkannya terus dalam keadaan rusak.
Langgar Bubrah Kudus
Alamat : Desa Demangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Lokasi GPS : -6.807014, 110.8335301, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Jam buka : sepanjang waktu. Harga tiket masuk : gratis. Hotel di Kudus, Hotel Murah di Kudus, Peta Wisata Kudus, Tempat Wisata di Kudus.Label: Jawa Tengah, Kudus, Langgar, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.