Meski di jaman Orde Baru nama masjid diganti menjadi Masjid Jami At-Taqwa, dengan alasan harus diberi nama khusus untuk memenuhi kebutuhan administrasi, namun masyarakat setempat masih menyebutnya Masjid Wali Loram Kulon. Memberi nama lokal sebuah masjid buat saya terasa lebih pas, merdu dan membumi ketimbang memakai nama asing.
Setidaknya asing yang diindonesiakan akan lebih baik. Sebagaimana umumnya masjid pada jaman dahulu, bangunan asli masjid dibuat dari kayu jati dan sudah ada menara, sumur tempat wudlu, serta bedug. Pada awal 1990-an, masjid dipugar dengan mengganti dinding papan dan tiang kayu yang telah rapuh karena usia menjadi dinding tembok dan rangka beton, namun tetap mempertahankan gapura tradisionalnya yang unik itu.
Masjid Wali Loram Kudus dilihat dari samping taman memanjang yang menjadi pembagi jalan dan ditanami palm serta tanaman hias yang cukup membantu menyegarkan pandang. Masjid yang tetap mempertahankan warisan arsitektur Jawa Hindu dan mengkombinsikannya dengan gaya bangunan model Timur Tengah itu adalah masjid ketiga yang saya lihat di Kota Kudus setelah Masjid Menara dan Masjid Nganguk Wali.
Aksara Arab pada gapura paduraksa berbunyi "Allahumma baariklana bil khoir", dan di bawahnya ada aksara Latin "Ya Allah, berkahilah kebaikan kepada kami". Tjie Wie Gwan konon kemudian menjadi orang kepercayaan Sultan Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat, dan dipercaya untuk menyebarkan agama Islam di Kudus.
Sebagai penghargaan bagi jasa-jasanya yang besar, Ratu Kalinyamat memberi gelar Sungging Badar Duwung kepada Wie Gwan. Sungging artinya ahli ukir, badar batu, dan duwung tanah. Konon beliau inilah yang menjadi cikal bakal munculnya keterampilan seni ukir berkelas tinggi di Kudus yang terkenal hingga ke mancanegara itu.
Di sebelah depan pintu gapura paduraksa tambahan yang berada di sisi kiri diletakkan dua batu di atas tatanan bata. Yang di sebelah atas seperti Lingga Yoni namun dengan bentuk tak lazim, hanya saja cerat untuk mengalirkan air sangat jelas terlihat. Sedangkan batu yang berada di bawahnya memiliki lekukan setengah bola yang tampaknya digunakan sebagai penampung air suci.
Pada jaman dahulu, sebelum Islam masuk dan berkembang di tanah Jawa, di masa tanam padi dan palawija orang melakukan ritual dengan merapal doa dan menyiramkan air suci atau susu pada lingga, mengalir melalui cerat ke batu penampungan untuk kemudian airnya dicipratkan ke sawah dan ladang agar subur dan memberi hasil melimpah.
Sebuah lampu gantung yang terlihat elok dipasang di depan serambi masjid. Ornamen pada dinding depan serambi juga terlihat cantik. Bagian bawah tiang pilar memiliki ornamen elok serta umpak yang biasanya terbuat dari batu namun diganti dengan tatanan bata merah yang cantik. Di Desa Loram Kulon juga ada gentong antik sepanjang 4 meter, namun sayang saya tak melihatnya.
Saat berada di serambi Masjid Wali Loram Kulon dan melihat ke arah luar, secara tak sengaja saya melihat adanya lekukan cukup dalam pada dinding gapura paduraksa yang membentuk angka dalam aksara Arab, namun tak yakin saya bagaimana membacanya. Gapura itu adalah salah satu peninggalan yang masih asli, selain saka guru, mustaka cungkup masjid, sumur, pintu bertulis, dan bedug.
Mestinya ada pintu kayu bertulis yang diletakkan di ujung depan teras, namun saya tak melihatnya saat itu. Tulisan pada pintu itu berbunyi, "Ini peninggalan tokoh-tokoh berupa pintu. Yang membuat pintu ini, pertama kiai ... (belum terbaca), kedua Petinggi Serjoyo, ketiga Petinggi Trendeto, keempat Petinggi Sliwongso dan kelima Petinggi Wirjoyo. Pintu ini dibuat Hari Senin Legi, 8 Dzulhijjah 1248 Hijriyah."
Keunikan tradisi di Desa Loram Kulon adalah adanya ritual Nganten Mubeng, yaitu para pengantin wajib melewati gapura paduraksa di sisi barat dan timur Masjid Loram Kulon setelah mereka selesai melaksanakan ijab qobul. Ketika masih hidup, karena banyaknya pasangan pengantin, maka Tjie Wie Gwan meminta agar para pengantin yang telah sah untuk mengelilingi gapura dan didoakan dari depan masjid dengan disaksikan warga.
Di ruang utama masjid, satu-satunya yang menarik di sana adalah ornamen pada sekitar relung tempat imam dan mimbar, yang berwarna keemasan dan terkesan mewah. Mimbarnya terlihat biasa saja dengan plitur gelap. Di tengah ruangan yang lelangitnya tinggi terdapat lampu gantung besar. Selebihnya tampak polos saja.
Di serambi kiri dan kanan masjid terdapat masing-masing satu bedug. Yang sudah terlihat tua nampaknya yang asli. Untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, warga Loram Kulon biasanya menyelenggarakan tradisi ampyang Maulid pada 12 Robiulawal, yang sudah dimulai sejak Tjie Wie Gwan masih hidup. Pada 1996 Balai Pelestarian Peningalan Purbakala Jawa Tengah telah menetapkan Gapura Masjid Wali Loram Kulon sebagai Benda Cagar Budaya.
Ada sebuah tradisi di Desa Loram Kulon yang unik, yaitu bersedekah dengan mengirim nasi kepel ke Masjid Wali Loram Kulon. Warga yang punya hajatan menikahkan anak, sunat, membangun rumah, melahirkan dan hajatan lainnya membawa sedekah nasi kepel dan lauk bothok masing-masing 7 bungkus. Nasi kepel adalah nasi yang dibungkus dengan daun jati atau daun pisang, berbentuk bulat dan diikat. Angka tujuh (Jawa: pitu) menjadi perlambang bagi Pitulung (pertolongan), Pitutur (nasihat), Pituduh (petunjuk) dalam menjalani hidup.
Kunjungan ke Masjid Wali Loram Kulon Kudus kembali menjadi pengingat untuk senantiasa merawat budaya dan melestarikannya. Juga mengingatkan pada apa yang pernah disampaikan oleh Bung Karno bahwa "Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi...Tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat-budaya Nusantara yang kaya raya ini".
Masjid Wali Loram Kulon Kudus
Alamat : Desa Loram Kulon, Kcamatan Jati, Kabuoaten Kudus, Jawa Tengah. Lokasi GPS : -6.83148, 110.84323, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Hotel di Kudus, Hotel Murah di Kudus, Peta Wisata Kudus, Tempat Wisata di Kudus.Label: Jawa Tengah, Kudus, Masjid, Wali, Wisata
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.