Jawa Tengah, Museum, Pers, Solo, Wisata

Museum Monumen Pers Nasional Solo

Ada banyak juga tempat di Solo yang baru bisa dikunjungi pada kali kedua saya datangi, dan Museum Monumen Pers Nasional Solo ini salah satunya. Itu karena monumen yang lokasinya di Jl Gajah Mada 59 ini termasuk tempat yang ditutup pada hari libur nasional. Sebuah kebijakan yang tak begitu ramah wisatawan.

Museum Monumen Pers Nasional Solo ada di tepi bundaran Jl. Gajah Mada dan Jl. Yosodipuro. Gedungnya cukup besar, dengan stupa di atapnya. Di depan gedung terdapat papan baca surat kabar Solopos, Suara Merdeka, dan Republika yang bisa dibaca gratis para pejalan kaki. Salah satu yang menarik di Museum Monumen Pers Nasional Solo adalah peralatan pemancar yang dipakai pada siaran langsung terjauh pada 1936, yaitu dari Solo ke Den Haag. Pemancar ini disebut Radio Kambing karena pernah disembunyikan pejuang RRI dan TNI di kandang kambing Desa Balong, lereng Lawu pada aksi militer Belanda II 1948-1949.

Saat itu Gusti Nurul, Putri Sri Mangkunegoro VII, menari Tari Srimpi dalam resepsi pernikahan Ratu Yuliana dan Pangeran Benhard di Istana Noordine, Den Hag, pada 1936. Tarian itu dilakukan dengan iringan gending yang disiarkan secara langsung oleh SRV dari Kota Solo dan dipancarkan ke negeri Belanda. Siaran itu dapat diterima di Istana Noordine melalui pesawat radio yang kemudian digunakan untuk mengiringi Gusti Nurul menari. Foto ketika Gusti Nurul menari digantung di bagian tengah atas peralatan ini.

Museum Monumen Pers Nasional Solo

Pada teras Museum Monumen Pers Nasional Solo terdapat empat arca naga berukuran besar, namun saya masuk melalui pintu samping. Gratis. Di beranda depan museum terdapat Kentongan Kyai Swara Gugah sebagai lambang alat komunikasi utama pada masa lalu. Begitu masuk ke dalam ruangan, terlihat beberapa buah patung dada para Perintis Pers Indonesia di sisi kanan lorong.

Penerbitan pers di Indonesia berawal dari Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan, surat kabar pertama yang terbit 7 Agustus 1774. Hampir seabad kemudian terbit koran bahasa Melayu seperti Slompet Melajoe dan Bintang Soerabaja (1861). Lalu ada Li Po (1901), Medan Prijaji (1907), Sin Po (1910), dan majalah pertama Panji Islam (1912).

Koran Kedaulatan Rakyat terbit pertama kali pada tanggal 27 September 1945 di Yogyakarta, atau sekitar satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Koran ini didirikan oleh H Samawi dan H Sumadi Wonohito, yang namanya diambil dari UUD 1945 alinea 4 Suara Hati Nurani Rakyat.

Edisi perdana Koran Kedaulatan Rakyat memuat wawancara dengan Presiden Soekarno yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia itu bukan hadiah dari Jepang melainkan merupakan kemauan bangsa Indonesia sendiri. Selain itu berita adanya Maklumat Tentang Kekuasaan Pemerintah Daerah Yogyakarta di tangan bangsa Indonesia serta Maklumat Tentang Jaminan Keselamatan Orang Asing di Yogyakarta. Plat percetakan perdana Koran Kedaulatan Rakyat saat ini disimpan di Museum Monumen Pers Nasional Solo.

Museum Monumen Pers Nasional Solo

Patung dada lima tokoh pers nasional, yaitu Soetopo Wonobojo, R. Bakrie Soeraatmadja, Dr. Abdul Rivai, Dr. Danudirdja Setiabudhi, dan R.M. Bintarti. Soetopo memimpin harian Boedi Oetomo edisi Bahasa Belanda di Yogya, kemudian memimpin Harian Koemandang Rakjat di Solo, dan menjadi ketua PB PERDI pertama pada Kongres di Solo tahun 1933.

Bakrie Soeraatmadja adalah pemimpin redaksi Sipatahoenan, surat kabar berbahasa Sunda. Ia dijebloskan ke penjara Belanda selama 3 bulan karena menulis tentang penangkapan Soekarno. Sedangkan Dr. Abdul Rivai rajin mengirim tulisan ke suratkabar tanah air saat berkelana ke Eropa dan Amerika, yang memberi pembelajaran politik kepada bangsanya.

Dr. Danudirdja Setiabudhi (Douwes Deker) bersama Dr. Cipto Mangunkusumo dan R Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indische Partij pada 1912. Di Solo ia menerbitkan De Beweging dan dipenjara 2 tahun karena terlibat pemogokan buruh pabrik gula. Pindah ke Semarang ia menerbitkan Niewe Express, dan pindah ke Bandung ia menerbitkan Ksatrian Insituut.

Sedangkan RM Bintarti bersama dengan R Panji Soeroso menerbitkan Kemadjoean Hindia yang sayangnya tak bertahan lama. Ia sempat pindah ke Sin Po, Soeara Publiek, dan Pewarta Surabaja sampai 1942. Pada 1945 bersama Bung Tomo ia mendirikan Kantor Berita Indonesia yang kemudian digabungkan dengan Kantor Berita Antara Pusat Jakarta.

Museum Monumen Pers Nasional Solo

Ada ribuan koran, majalah serta berbagai benda bersejarah terkait pers Indonesia yang disimpan di Museum Monumen Pers Nasional ini, baik di ruang pamer, ruang Media Center, dan di perpustakaan lantai atas. Salah satu yang menarik adalah Koran Asia Raya yang mengangkat head-line Pengangkatan Kepala Negara Indonesia Merdeka Ir . Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, dengan sub-judul Undang-undang dasar Negara disahkan. Koran ini masih menggunakan tahun berdasar kalender Jepang. Adalah koran Soeara Asia yang memuat pertama kali teks Proklamasi Kemerdekaan pada edisi 18 Agustus 1945, kemudian diikuti oleh koran Tjahaja (Bandung), Asia Raja (Jakarta), dan Asia Baroe (Semarang).

Koleksi benda pers bersejarah lainnya adalah rekaman gerhana Matahari total, mesin ketik Bakrie Soeriatmadja, Diorama Perkembangan Pers Indonesia, portable mixer, microfilm, baju wartawan Hendro Subroto, Kenthongan Kyai Swara Gugah, koleksi Bali Post, telepon antar stasiun, mesin ketik kuno, dan kamera wartawan Udin.

Udin adalah nama panggilan bagi Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta sejak 1986, yang dianiaya oleh orang tak dikenal yang membuatnya meninggal dunia dalam usia 32 tahun pada 16 Agustus 1996 (lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 Februari 1964). Sebelum dibunuh, Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan Orde Baru dan militer.

Selasa malam pukul 23.30 WIB tanggal 13 Agustus 1996, Udin dianiaya pria tidak dikenal di depan rumah kontrakannya di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta, yang menyebabkannya terus dalam keadaan koma dan dirawat di RS Bethesda. Esoknya Udin menjalani operasi otak, namun karena luka parahnya akibat pukulan batang besi di kepalanya, Udin meninggal pada hari Jumat tanggal 16 Agustus 1996 pukul 16.50 WIB.

Menurut penuturan Marsiyem, isteri Udin, kamera dan tasnya biasa menemani Udin kemana-mana untuk mengambil foto lepas dan meliput berita. Marsiyem menyerahkan kamera dan tas Udin ke Monumen Pers Nasional, dengan disaksikan puteranya yang bernama Zulkarnaen Wikanjaya, di kediaman mereka di Jl Ir Juanda Gedongan RT02 Trirenggo Bantul pada tanggal 15 Januari 2013.

Mesin ketik Bakrie Soeriatmadja, salah seorang Perintis Pers Indonesia, berupa mesin tik kuno merk Underwood buatan sekitar tahun 1920 - 1927 yang menjadi koleksi Museum Monumen Pers Nasional. Mesin tik ini selalu dipakainya sebagai alat perjuangan membuat berbagai tulisan yang dimuat di surat kabar. Bakrie adalah wartawan dan Pemimpin Redaksi Koran Sipatahoenan, koran berbahasa Sunda yang terbit di Bandung, serta aktif menulis di berbagai surat kabar lain. Berita yang ditulisnya cukup berani yang membuatnya dijebloskan oleh Belanda ke penjara Sukamiskin selama 3 bulan. Bakrie Soeriatmadja lahir tanggal 26 Juni 1895 dan wafat 1 Juni 1971.

Koleksi mesin ketik kuno lainnya adalah merk Royal buatan Jerman tahun 19209, Triumph buatan Jerman tahun 1920, Smith Corona buatan Italia tahun 1920, dan mesin tik Royal buatan Amerika tahun 1920. Telepon antar stasiun di Museum Monumen Pers Nasional Solo adalah merupakan alat komunikasi yang menjadi sarana penghubung antar stasiun jarak dekat di Perusahaan Jawatan Kereta Api di Indonesia sekitar tahun 1920-an.

Koleksi microfilm Museum Monumen Pers Nasional merupakan sumbangan dari Wakil Presiden Adam Malik yang diberikan pada sekitar tahun 1980. Fungsinya memindai obyek berupa koran dan majalah kuno untuk diubah menjadi bentuk film negatif berukuran mikro dan kemudian didokumentasikan. Karena prosesnya rumit, fungsinya kin telah digantikan scanner dan foto digital.

Hendro Subroto, yang baju wartawannya disimpan di Museum Monumen Pers Nasional Solo, adalah seorang wartawan perang. Ia mengawali karir di tahun 1964 sebagai kameraman TVRI dan pernah mengikuti pendidikan Television Journalism di OCTA, Tokyo, Jepang. Pada tahun 1975 Hendro, ketika meliput perang yang sengit di Bobonaro, Timor Timur, jatuh korban 20 orang namun Hendro selamat, dan baju yang ia pakai saat peristiwa itulah yang kini disimpan di Monumen Pers Nasional. Hendro menerima anugerah Penegak Pers Pancasila dari Persatuan Wartawan Indonesia, Tanda Kehormatan Satya Lencana Seroja dan Satya Lencana Bhakti dari Departemen Pertahanan dan Keamanan RI. Hendro lahir di Surakarta 18 Desember 1938, meninggal pada tanggal 14 Oktober 2010, dan dimakamkan di San Diego Hill, Karawang.

Peran pers mengalami pasang surut sejak jaman Belanda, Jepang, masa revolusi, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, orde baru, dan era reformasi. Di Museum Monumen Pers Nasional Solo ada pula majalah Djawa Baroe, yaitu majalah buatan pemerintah pendudukan Jepang ini adalah alat propaganda agar rakyat mendukung Jepang dalam perang Asia-Pasifik. Koleksi lainnya adalah "Fikiran Rak'jat" dengan pemimpin redaksi Ir.Soekarno, "Penjebar Semangat", Majalah "Minggu Pagi", Sketsmasa, dan Mataram.

Sebuah diorama di Museum Monumen Pers Nasional menggambarkan kondisi pada masa reformasi. Pada sisi paling kiri dalam diorama itu adalah sosok Gus Dur yang meniup api Departemen Penerangan sebagai simbol dibubarkannya kementrian ini dan dimulainya era kebebasan pers. Pada era ini juga diperbolehkan cetak jarak jauh. Di sebelah kanan ditampilkan Presiden (waktu itu) Megawati di depan bangunan Lembaga Informasi Nasional (LIN).

Ada pula diorama yang menggambarkan beberapa serdadu Jepang baru saja turun dari kapal, pamflet propaganda melayang di atas gedung yang dijatuhkan dari pesawat, seorang tentara Jepang tengah berpidato dan wartawan memotretnya. Ada pertunjukan tarian. Ada pula penjara, dan suasana percakapan. Diorama ini menggambarkan situasi kerja jurnalistik saat itu yang banyak berisi propaganda Jepang, sensor pers, dan hukuman bagi penerbit dan wartawan yang dianggap berbahaya. Nama tokoh pers yang disebut pada diorama adalah Dr Abdul Rivai, R Bakrie Soeraatmadja, RM Bintarti, Dr Danudirdja Setiabudhi, R Darmosoegito, RM Tirto Adi Soerjo, Djamaludin Adinegoro, DR GSSJ Ratulangie, RM Soedarjo Tjokrosisworo, Soetopo Wonobojo, dan Taher Tjindarboemi.

Lebih satu juta eksemplar contoh media cetak yang terbit di seluruh Indonesia sejak jaman penjajahan telah didokumentasikan, dikonservasi dan didigitalisasi di Museum Monumen Pers Nasional. Salah satunya adalah Fikiran Ra'jat, majalah dengan pemimpin redaksi Ir Soekarno.

Tempat terkait pers yang juga menarik adalah Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara. Museum Monumen Pers Nasional resmi dibuka pada 9 Februari 1978, menggunakan Gedung Societeit Sasana Soeka yang dibangun pada 1918 oleh Mangkunegara VII dengan arsitek Mas Abu Kasan Atmodirono. Selanjutnya ditambah gedung lain yang dibangun pada 1970-an.


Museum Monumen Pers Nasional Solo

Alamat : Jl. Gajah Mada 59, Solo. Telp 0271-711494, 712734, Fax 0271-716008. Lokasi GPS : -7.564889, 110.818194, Waze. Rujukan : Hotel di Solo, Tempat Wisata di Solo, Peta Wisata Solo.
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.

aroengbinang, seorang penyusur jalan.
Traktir BA secangkir kopi? Scan via 'Bayar' GoPay.
Diubah: Agustus 20, 2020.