Ketika diajak bapak ke Makam Imogiri waktu kecil, kami tidak ke Makam Giriloyo. Memang tidak ada raja mataram di makam yang dibangun pada Jumat Legi, 22 Rabingulawal, 1714 Jawa, Jimakir (1 Februari 1788 M) ini. Makam ini ada di perbukitan seperti Makam Kyai Mojo. Suasana makam juga tenang, diteduhi pohon tua seperti Makam Pangeran Jayakarta. Kadang beruntung melihat bentuk langka seperti Makam Raja-Raja Tallo dan Makam Siti Fatimah binti Maimun, serta Makam Sunan Gunung Jati.
Yang juga menarik adalah mendapat pemicu untuk menggali sejarah, seperti di Makam Muhammad Yamin. Jarak dari Situs Bawong ke Makam Giriloyo Imogiri Bantul sekitar 7,3 km, arah ke selatan, melewati Jl Imogiri Timur, lalu berbelok dipertigaan kedua setelah menyeberang Kali Opak ke arah Tenggara, dan setelah 3,2 km dari tikungan kami berhenti tepat di samping undakan yang menuju ke puncak perbukitan dimana makam berada.
Undakan berkelok naik menuju Makam Giriloyo Imogiri Bantul. Ini adalah undakan seri kedua setelah sebelumnya menapaki sekitar 75 undakan dan di sebelah kiri menjumpai masjid tua peninggalan jaman Sultan Agung yang dibangun berbarengan dengan pembuatan makam. Sedangkan di sebelah kanan ada pendopo yang menjadi tempat juru kunci duduk menunggu tamu. Masjid tua sederhana itu berbentuk segi empat berukuran 18 x 9,5 m beratap limasan tumpang khas Jawa Hindu, dengan hiasan di puncaknya. Terdapat pula kolam di sisi depannya yang airnya berasal dari perbukitan. Ada denah makam, lengkap dengan keterangannya, menggantung di tiang sudut masjid. Namun baru ketika turun dari makam saya memotretnya.
Denah itu menunjukkan adanya kompleks makam luas di puncak perbukitan di ujung sebelah kiri, dipagari tembok keliling, dengan 58 delapan makam di dalamnya. Sementara di ujung sebelah kanan terdapat sebuah makam tertutup, dan diantara keduanya terdapat sepuluh makam berada di area terbuka (empat di ujung kiri, enam di ujung kanan). Setelah duduk berbincang sejenak dengan dua orang juru kunci Makam Giriloyo Imogiri Bantul yang tengah jaga, kami pun bangkit berdiri dan mulai berjalan mendaki undakan ke puncak bukit Giriloyo ditemani mereka.
Pejalan bisa saja naik tanpa ditemani juru kunci, namun tidak akan bisa masuk ke dalam area makam tertutup yang digembok. Satu kuncen memegang anak kunci untuk kompleks makam di sebelah kiri, dan satu lagi untuk yang sebelah kanan. Jika jumlah tamunya banyak maka pengaturan ini akan sangat membantu. Setelah menapaki undakan yang jumlahnya seperti tak ada habisnya, sampailah kami di puncak bukit. Untuk ke kubur utama di sebelah kiri harus menaiki sejumlah 50 undakan lagi.
Pemandangan ke arah kubur utama Makam Giriloyo Imogiri Bantul di sayap kiri perbukitan. Di sebelah kanan undakan, di atas susunan batu pipih, terdapat sebongkah batu yang dipercaya orang merupakan "Selo tilas palenggahan Dalem", atau "batu petilasaan tempat duduk Dalem", sebuah batu yang konon dilemparkan sendiri oleh Sultan Agung dari Mekah.
Konon Sultan Agung tidak diperbolehkan dimakamkan di Mekah oleh ulama setempat. Maka untuk menentukan letak makamnya ia pun melemparkan batu dari Mekah, yang jatuh di Giriloyo. Sayang tempat ini telah menjadi makam pamanda Sultan, yaitu Pangeran Juminah, sehingga Sultan akhirnya menetapkan makamnya di Pajimatan, yang sekarang menjadi Makam Raja-Raja Imogiri.
Di sebelah kiri undakan ada makam Tumenggung Wiroguno, Makam Raden Ayu Nerang Kusumo, makam Kyai Juru Wiro Probho, dan satu makam lagi tidak diketahui identitasnya. Tumenggung Wiroguno adalah Panglima Perang Mataram kepercayaan Sultan Agung yang menyerbu Pati karena dianggap mbalelo, dan memboyong Roro Mendut ke Mataram untuk dipersembahkannya kepada Sultan Agung.
Namun Sultan menghadiahkan Mendut kepada Tumenggung Wiroguno karena jasanya dan mengetahui bahwa sang tumenggung menginginkannya. Sayangnya Mendut telah jatuh cinta pada Pronocitro yang minggat dari rumah ibunya, Nyai Singa Barong, saudagar dari Pekalongan. Pronocitro akhirnya tewas ditangan Tumenggung Wiroguno, dan Mendut memilih mati bersama kekasihnya.
Setelah kuncen membuka pintu, saya masuk ke kompleks kubur dengan 58 makam itu. Di sebelah kanan tampak makam menyendiri yang disebut "Sekaran Sepen", makam ghaib Sultan Agung yang jasadnya di Pajimatan Imogiri. Di dekatnya ada makam Kyai Guru Desti, Ngabei Ler, Pangeran Haryo Broto, Tumenggung Haryo Broto, Adipati Banyu Wangi, dan empat makam tidak dikenal.
Di blok sebelahnya terdapat makam Panembahan Juminah, yang adalah putera Panembahan Senopati. Lalu ada makam Pangeran Haryo Mangkubumi, putera Panembahan Seda Krapyak; makam Pangeran Haryo Sokawati, putera Sultan Agung; makam Pangeran Martasana; makam Kanjeng Ratu Mas Hadi, ibunda Sultan Agung; makam Raden Tumenggung Haryawangsa; makam putera Mangkubumi yang mati muda, dan satu makam yang tidak jelas pemiliknya.
Di belakang dua tugu besar di area tertinggi Makam Giriloyo Imogiri Bantul ini adalah makam Kanjeng Ratu Pembayun, permaisuri Amangkurat I. Sedangkan empat makam di dekatnya tidak dikenal. Kanjeng Ratu Pembayun adalah gelar anak sulung perempuan yang lahir dari permaisuri setelah dewasa. Sebelum dewasa, anak sulung perempuan itu mendapat gelar Gusti Raden Ayu.
Diantara dua tembok luar kempleks utama Makam Giriloyo ini terdapat cukup banyak kubur, namun semuanya tidak dikenali, kecuali satu, yaitu makam Tumengung Honggo Bahu. Tidak diketahui siapa sang tumenggung ini. Ada rasa gamang untuk mendekat ke dinding tembok paling luar, mengingat kondisinya yang berada dalam keadaan tidak terlalu baik.
Saat keluar dari kompleks makam utama dan mengikuti kuncen kedua menuju ke cungkup di sayap kanan Makam Giriloyo Imogiri Bantul, kami melewati makam Kyai Ageng Giring dan makam Kyai Ageng Sentong di kiri jalan. Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa saat membabat Alas Mentaok dan mendirikan Desa Mataram, Ki Gede Pemanahan mengunjungi Ki Ageng Giring, sahabatnya.
Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan sebutir kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sekaligus sampai habis maka akan menurunkan raja-raja Jawa. Karena belum merasa haus, ia berencana meminumnya setelah kembali dari sungai. Ki Gede Pemanahan yang tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus, langsung pergi ke dapur dan melihat ada kelapa muda. Kelapa muda itu langsung dibukanya dan dalam sekali teguk dihabiskan airnya. Ki Ageng Giring yang kemudian datang hanya bisa pasrah kepada takdir bahwa Ki Gede Pamanahan-lah yang ternyata dipilih untuk menurunkan raja-raja Jawa. Namun tidak jelas apakah Kyai Ageng Giring yang saya lihat makamnya itu adalah sahabat Ke Gede Pemanahan itu.
Setelah kuncen membuka pintu pagar cungkup makam sisi kanan Makam Giriloyo Imogiri Bantul Yogyakarta yang berada di sebuah pohon besar terlihatlah sebuah makam tua dibalut kain putih pada nisannya yang merupakan makam Panembahan Giriloyo atau Kanjeng Sultan Cirebon V (nama kecilnya Abdul Karim), yang merupakan keturunan ke-5 Sultan Gunung Jati, dan juga menantu Sultan Agung. Makam yang terlihat sangat tua itu sesungguhnya kaya dengan ornamen, menyerupai relief pada candi. Di ujung makam terlihat sebuah tombak dan payung kerajaan yang warnanya telah pudar, diletakkan di sebuah rak yang disebut plocon berhias ukiran dua ekor naga yang ekornya saling membelit.
Meskipun kondisinya telah memerlukan perawatan yang serius, Makam Giriloyo Imogiri Bantul masih merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi. Sejarah memang bisa hidup jauh lebih lama ketimbang jasad yang terbujur di bawah tanah, menyisakan tulang belulang yang tidak berupa.
Makam Giriloyo Imogiri Bantul
Alamat : Dusun Cengkehan, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Lokasi GPS : -7.9180392, 110.4069033, Waze. Jam buka : sepanjang hari dan malam. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan diharapkan. Rujukan : Tempat Wisata di Bantul, Peta Wisata Bantul, Hotel di Yogyakarta.Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.